Suatu hari, salah seorang anak menderita sakit mata. Ia harus segera dibawa ke dokter. Sayangnya biaya berobat ke dokter spesialis mata cukup mahal. Beberapa tahanan patungan hingga terkumpul Rp500 ribu.
Kesehatan anak-anak dalam tahanan memang kurang mendapat perhatian serius dari petugas. Biaya pengobatan, pampers, dan susu bukan menjadi tanggungan lapas. Untuk membeli kebutuhan anak, para ibu mengandalkan uang kiriman dari keluarganya. Ada juga yang berusaha mencari uang sendiri dengan mencucikan baju tahanan lainnya. Bahkan ada yang menjual narkoba secara diam-diam.
Seorang tahanan bernama Fifi dipaksa melakukan USG. Ia menolaknya lantaran tak memiliki uang. Petugas terus memaksanya karena usia kandungannya sudah 40 minggu, namun tak kunjung melahirkan. Benar saja, ada masalah dalam kandungannya. Ketubannya tinggal tujuh persen. Fifi harus segera melahirkan dengan operasi caesar.
Melahirkan secara caesar tidaklah murah. Fifi berusaha menelpon keluarganya. Tapi sepertinya keluarganya tak bisa membantunya. Pihak lapas enggan menanggung biaya persalinan Fifi. Ia kemudian dibebaskan pada hari itu juga.
Di lokasi lapas yang berbeda, beberapa anak memanjat jeruji besi. “Mama petugas, mama buka.” Tatapan matanya yang tak berdosa mengisyarakatkan harapannya untuk bisa keluar dari penjara.
Kamera berpindah ke seorang anak yang mengalami biduran usai minum susu formula. Ia dibawa ke klinik. Dokter bertanya pada ibunya, makanan apa yang biasa diberikan. Ibunya menjawabnya dengan nasi yang dicampur garam atau mecin. “Kok mecin sih?” tanya dokter.
Sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada anak-anak ini. Nutrisi yang ia peroleh tak cukup baik, bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Jika dibiarkan terus menerus, bukan hanya kesehatannya yang memburuk, mereka berisiko besar mengalami malnutrisi.
Film ditutup dengan rekaman satu per satu anak yang dijemput oleh keluarganya. Ada yang tampak bahagia, ada juga yang bersedih karena harus berpisah dengan ibunya. “Mama …,” tangis salah seorang anak laki-laki di depan pintu penjara.
Invisible Hopes tak hanya menyadarkan kita untuk bersyukur dengan kehidupan kita saat ini. Sesulit apapun kehidupan kita saat ini masih jauh lebih baik daripada mereka orang-orang yang berada di balik jeruji besi.
Mayoritas tahanan perempuan adalah pengedar narkoba yang terpaksa melakukan pekerjaan ‘haram’ ini karena himpitan ekonomi. Mereka bukan hanya seorang ibu yang bertugas mengurus anak-anak dan suaminya tapi juga tulang punggung keluarganya.
Nahasnya, beberapa di antara mereka ditahan dalam kondisi hamil. Anak-anak yang dilahirkan tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan. Kesehatan mereka tidak terjamin di tengah lingkup sosialnya yang tidak sehat. Dan ternyata, negara pun belum menjamin nasib perempuan hamil dan anak-anak yang lahir dalam penjara.
Kondisi ini sangat bertolak dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi warganya dan memajukan kesejahteraan umum agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lamtiar Simorangkir berhasil mengaduk-ngaduk emosi penonton lewat teknik sinematografinya yang apik, sekaligus membuka mata masyarakat tentang beratnya kehidupan yang harus dilalui perempuan dan anak-anak dalam penjara.
Kehadiran film ini tentu saja penting. Ia dapat dimaknai sebagai pesan kepada para pemimpin negeri untuk berdialog dan mengontruksi solusi baru yang lebih berpihak pada perempuan hamil dan membawa harapan baru bagi anak-anak yang hidup dalam penjara dewasa. []