Jamal Khashoggi terkenal berani dan lugas menyatakan pendapatnya terhadap pemerintah Saudi. Merasa terusik, Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammad bin Salman pada tahun 2017 memerintahkan agennya untuk membunuh Jamal.
BARISAN.CO – Pemerintahan Joe Biden meminta perpanjangan waktu kepada hakim AS sebelum secara resmi mempertimbangkan apakah Mohammad bin Salman harus diberikan kekebalan dalam kasus pembunuhan Jamal Khashoggi.
Pada Oktober 2018, MBS mengatur pembunuhan di luar proses hukum terhadap Jamal . Atas perintah MBS, Jamal disiksa dan dipotong-potong di konsulat Saudi di Istanbul.
Presiden Turki, Recep Tayyid Erdogan memimpin protes atas pembunuhan tersebut karena pembunuhan terjadi di wilayah Turki terhadap seorang pembangkang yang tinggal di pengasingan. Hal ini menimbulkan keprihatinan dunia internasional baik kedaulatan negara dan hak asasi manusia.
Keluarga kerajaan menolak bertanggung jawab, namun citra MBS di luar negeri telah ternoda.
Hakim AS mengabulkan permintaan BIden dan memberikan waktu hingga 3 Oktober. Permintaan Biden muncul setelah beberapa hari dia kembali dari perjalanan bertemu MBS.
Mengutip Guardian, Abdullah Alaoudh, direktur peneliti Dawn dan salah satu penggugat dalam kasus melawan MBS mengkritik pemerintahan Biden.
“Bagi pemerintahan Biden, ini adalah tingkat yang sangat berbeda untuk memberikan kekebalan kepada MBS di pengadilan atas pembunuhan paling terdokumentasi yang pernah dilakukannya. Memberikan kekebalan hukum akan memberi MBS izin untuk membunuh,” kritiknya.
Profil Jamal Khashoggi
Dilansir dari Dawnmena, Jamal lahir di Madinah pada 13 Oktober 1958. Dia menempuh pendidikan tinggi di Indiana State University. Setelah mendapat gelar di bidang administrasi bisnis, Jamal kembali ke rumah dan berkarir di bidang jurnalisme.
Karirnya melesat. Pada tahun 1999, Jamal menjadi wakil pemimpin redaksi di Arab News. Media tersebut memiliki hubungan dekat dengan elit kerajaan. Namun, hubungan dekat ini membatasi jangkauan pendapat yang akan mengarah pada pemecatan Jamal lebih dari sekali.
Tahun 2003, dia menjadi editor Al-Watan. Kurang dari dua bulan, Jamal dipecat setelah bertabrakan dengan pendirian Wahabi konservatif Saudi. Jamal menulis sebuah artikel berapi-api. Menarik hubungan antara penyerang dan anggota Wahabi yang menghasut dan membenarkan serangan bom bunuh diri Al Qaeda di kompleks perumahan mewah, yang penghuninya sebagian besar orang Barat.
Setelah dipecat, Jamal menjadi penasihat dan juru bicara Pangeran Turki, al Faisal, Duta Besar Kerajaan untuk Inggris. Jamal menjadi penasihat dan juru bicaranya hingga Pangeran Turki mundur.
Kemudian, dia kembali Al-Watan tahun 2007. Namun, tiga tahun setelahnya, Jamal dipecat lagi setelah menyinggung pendirian agama Wahabi, termasuk artikel tentang penyalahgunaan kekuasaan polisi agama dan hak perempuan.
November 2016, Jamal mengkritik terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Kritiknya tersebut mengganggu kerajaan Saudi karena banyak yang mendukung Trump.
Beberapa setelah kritikan itu, pemerintah Saudi menegaskan pernyataan Jamal tidak mewakili pemerintah Arab Saudi atau posisinya di tingkat mana pun. Diketahui, saat itu MBS juga sedang menjalin hubungan dekat dengan Trump.
Menjelang akhir November 2016, penguasa melarang Jamal menulis di surat kabar, tampil di TV, dan menghadiri konferensi. Salah satu penasihat MBS bahkan menghubungi Jamal. “Kamu tidak dapat men-tweet, tidak dapat tampil di TV, tidak dapat menulis. Titik. Kamu tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kamu sudah berakhir.”
Kurang dari setahun, khawatir dengan serentetan penangkapan intelektual publik serta penulis terkemuka, Jamal pindah ke AS. Pada bulan yang sama, MBS naik jabatan menjadi Wakil Perdana Menteri.
Kemudian, Jamal menjadi kolumnis di Washington Post. Di AS, dia memanfaatkan sepenuhnya kebebasan barunya. Dia menulis dan berbicara dengan berani, mengadvokasi kebebasan berbicara dan demokrasi. Dia juga mengkritik pemenjaraan aktivis politik rezim Saudi dan perilaku Saudi terhadap perang di Yaman.