Scroll untuk baca artikel
Blog

Menjadi Insan Pers: Bersikutat dalam Bahaya, Represi, & Pembunuhan

Redaksi
×

Menjadi Insan Pers: Bersikutat dalam Bahaya, Represi, & Pembunuhan

Sebarkan artikel ini

Masih banyak pekerjaan rumah untuk menghidupkan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia.

BARISAN.CO Menurut UNESCO, sebanyak 55 insan pers terbunuh sepanjang tahun lalu di seluruh dunia. Jumlah ini jadi indikasi makin gawatnya tingkat represi terhadap jurnalis.

Selain dari segi jumlah, UNESCO menyebut kekebalan hukum terhadap pelaku pembunuh insan pers juga merupakan persoalan besar. Pasalnya, masih ada 86 persen kasus kematian jurnalis sejak tahun 2006 yang belum terpecahkan.

“Impunitas terhadap pelaku adalah tanda bahaya yang perlu disebarluaskan. Terlalu banyak jurnalis yang membayar mahalnya harga sebuah kebenaran. Padahal, dunia sedang butuh fakta dan independensi mereka,” kata Audrey Azoulay, Direktur UNESCO.

Pelaku kekerasan nyaris tidak pernah disinggung-singgung bahkan diproses secara hukum. Selain pembunuhan, mereka tak segan melancarkan kekerasan fisik kepada insan pers di lapangan. Para pelaku juga melakukan kriminalisasi, intimidasi, ancaman pembunuhan, serta hal buruk lainnya kepada insan pers.

Di dalam negeri, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 90 kasus kekerasan diderita jurnalis sepanjang Mei 2020 hingga Mei 2021. Angka itu lebih tinggi dari periode yang sama sebelumnya yaitu 57 kasus.

Masih menyitat AJI: sebanyak 58 kasus melibatkan polisi sebagai pelaku kekerasan.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, mengatakan kasus penyebaran informasi pribadi secara publik atau doxing menjadi ancaman baru kekerasan yang dialami insan pers dua tahun terakhir. Dalam setahun terakhir, terdapat 14 kasus teror digital.

Doxing terhadap jurnalis Detik.com pada Mei 2020, terkait pemberitaan Rencana Presiden Jokowi Meninjau Persiapan New Normal, di salah satu mall di Bekasi. Teman jurnalis ini, dia dipersekusi, bahkan sampai akun project-nya diretas dan dipesankan makanan yang banyak dan diantar ke rumahnya. Ini sudah mengancam hingga ke kenyamanan dan keselamatan sang jurnalis,” jelasnya dalam satu webinar.

Walaupun memiliki Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari harapan. Kekerasan masih menjadi pilihan tindakan bila terjadi masalah dalam pemberitaan, terutama dilakukan lewat tangan aparat bersenjata.

Masih banyak pekerjaan rumah untuk menghidupkan iklim jurnalisme yang sehat. Komitmen politik pemerintah perlu dibuktikan untuk itu. Kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia perlu dijalankan secara konsekuen.

Sebaliknya, insan pers juga harus senantiasa menuangkan pikiran yang bebas dari belenggu ketakutan terhadap rezim penguasa dalam menyiarkan berita. [dmr]