وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ
BARISAN.CO – Makna al-Birru dan at-taqwa. Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat. Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-Birru berarti kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah ditampilkan oleh syariat.
Ibnul Qayyim mendefinisikan bahwa al-Birru adalah satu kata untuk seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba.
Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela saat melakukannya.
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di mengatakan bahwa al-Birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Swt cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhahir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Swt atau hak sesama manusia.
Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-Birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.
Allah Swt telah menghimpun ragam al-Birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak -anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) budak, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang- orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177).
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam. Prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di akhir ayat, Allah Swt menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqin).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Swt dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah atau larangan.
Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habib, seorang ulama dari kalangan generasi tabi’in berkata: “Bila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa “.
Mereka berkata: “Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab: “Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Swt dengan dasar cahaya dari Allah Swt dan mengharap pahala-Nya.