Sesi terakhir berupa pertanggungjawaban pengurus dan pemilihan ketua HMI Cabang yang baru terpaksa diselenggarakan di atas bukit kawasan Parangtritis, demi menghindari kejaran aparat keamanan. Pada malam sebelumnya, peserta terpaksa harus tiduran di pantai wisata, sambal tetap diawasi para intel.
Jelang subuh, peserta secara diam-diam naik ke perbukitan, dan lolos dari pengamatan. Aku ikut membantu evakuasi, dan kemudian ikut mengatur pencarian dan pembagian minuman dan membeli makanan seadanya agar para peserta yang tersisa tak kelaparan di atas bukit.
Kembali menjadi ketua panitia kongres HMI (MPO) pada pertengahan tahun 1988 di Wonosari, DI Yogyakarta. Sejak awal persiapan, aku hanya memiliki tim panitia sebelas orang yang menyadari acara tidak mudah untuk berlangsung lancar. Perhelatan nasional ini diincar untuk digagalkan karena menyangkut kondisi politik yang serius.
Dengan kerja sama yang solid dari panitia, melalui beberapa skenario yang disiapkan hingga akhirnya bisa berlangsung. Ada sekitar 100an orang melaksanakan kongres HMI selama sepekan. Lokasinya di dusun yang belum memiliki penerangan listrik.
Peristiwa ini mencatatkan utang budi HMI yang luar biasa besar pada pak Salikin (almarhum) kepala dusun beserta warganya. Acara berlangsung lancar, pertanggungjawaban Egie Sudjana diterima, dan Tamsil Linrung terpilih sebagai ketua baru.
Namun, setelah Egie mengadakan jumpa pers di Yogyakarta tentang hasil kongres, maka pengejaran dan upaya penahanan pun dilakukan aparat. Warga dusun yang dewasa dipaksa apel seharian di lapangan, dan semua diinterogasi. Khusus pak Salikin, selama 3 bulan wajib lapor tiap hari kerja. Bahkan, ada aparat yang berjaga hingga sebulan kemudian di dusun itu.
Semua anggota tim panitia kuminta pulang ke kampungnya. Namun, sebagian mereka sudah ditunggu oleh surat panggilan pihak kepolisian. Untunglah, mereka telah dibekali nasihat bagaimana menghadapi surat panggilan. Sementara itu, Ketua HMI cabang Yogyakarta akhirnya terpaksa datang ke Polres memenuhi surat panggilan.
Aku sendiri terpaksa pulang dan menyembunyikan diri selama dua pekan di Kalimantan. Tidak ada surat panggilan untukku di sana. Surat panggilan di Yogyakarta diantar ke alamat yang kadang aku nginap di sana. Surat demikian bisa diabaikan karena alamat yang tidak tepat.
Soalan ini tidak berlanjut ke ranah hukum. Belakangan aku mendengar rumor bantuan dari beberapa alumni senior yang memiliki kedudukan tinggi. Ketika aku balik ke Jogja, suasana telah reda. Aku pun kembali bersemangat berkegiatan HMI.