Di dalam hiperkompleks ini para petarungan doktrin memperebutkan pengaruh jejaring. Para prajurit imanpun tampil ke arena politis siap meledakan tubuhnya dengan teror lebih dahsyat dari pada berjibaku dengan tentara Jepang di masa lampau. Literatur Barat berbicara tentang ekspansi pasar-pasar kekerasan yang memperjualbelikan ‘perang-perang kecil global’.
Dewasa ini agama seolah menjebol pagar-pagar wilayah privat yang pernah ditetapkan dalam perjanjian Westphalia, dan iman memiliki prospek untuk kembali menjadi kategori politis yang penting. Entah dengan mengabaikan atau bersemangat, dalam penanganan terorisme islam dan pengungsi Timur Tengah politik kontemporer nau tak mau harus mengkarkulasikan iman sebagai faktor indentitas yang menentukan untuk mengakses seseorang dalam komunikasi.
Kompleksitas bertambah manakala iman itu, sebagai suatu Weltanshauung, dibenturkan dengan nilai-nilai sekular modern, seperti Ham, yang darinya tumbuh bukan hanya ideologi pasar (kapitalisme), ideologi sains (natualisme), ideologi politis (liberlisme), melainkan juga ideologi kelamin (LGBTIQ). Hiperkompleksitas menghasilkan perpleksitas yang kemudian dicoba distabilisasi dengan mantara populer bernama relativisme.
Dalam masyarakat kita agama-agama tidak pernah pudar, maka orang tak bicara tentang kebangkitan mereka, seolah dikubur. Problem kita bukan sekularisme, melinkan radikalisme agama. Menyusul peristiwa 9/11, ada seri bom bunuh diri Bali, Jakarta, Solo dan yang lainnya. Di samping terorisme , radikalisme menghasilkan prestasi negatif dalam bentuk pembakaran geraja, penganiayaan warga Ahmaddiyah dan Shiah, dan seterusnya lagi.
Belum lagi hendak munculnya berbagai fenomena keyakinan baru, seperti kelompok Lia Eden, kelompok Gatafar, dan yang lainnya. Bagimana hal ini bisa menjamin setiap orangnnya untuk bebas beragama dalam situasi yang kompleks ini?. Dari segi etika politik sekurangnya dua pertanyaan berikut membutuhkan jawaban yang sangat mendalam. Pertama, pada ranah kemasyarakatan, bagiamana kebabasan beragama dan plurarisme dihormati tanpa jatuh ke dalam relativisme?.
Kedua , pada ranah kenegaraan, bagimana negara hukum modern bersikap terhadap berbagai orientasi nilai di dalam masyarakat? Kita tahu jawaban yang diberikan akan bersifat normatif karena diberikan oleh sebuah etika politis. Namun, kita tetap perlu menghitung kondisi faktual agar jawaban tetap realistis.
Dalam masyarakat kompleks seperti Indonesia sekurangnya dua ranah dapat dibedakan: ranah kemasyarakatan atau masyarakat warga yang hendak kita sebut sebaagai (civil society ), yakni hubungan horizontal di antara kelompok-kelompok agama, dan ranah kenegaraan, yakni hubungan vertikal antara masyarakat warga dan ranah kenegaraan, yakni hubungan vertikal antara warga masyarakat dan negara.
Etika politik memberikan prinsip-prinsip untuk kedua rumah tersebut. Untuk hubungan horizontal itu perlu diperhatikan sekurang-kurangnya empat pokok pikiran. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, kebebasan beragama dalam masyarakat kompleks tidak bisa dijamin, jika keunikan tiap-tiap agama diabakan dengan sebuah pandangan dewasa ini yang sedang merajela, yaitu bagimana kaitanya dengan arti relativisme. Menurut pemahaman ini kebenaran itu hanya bersifat relatif, tergantung agama masing-masing.
Maka bisa ditarik sebuah garis pemahamannya yang sangat sederhana bahwa semua agama sama benarnya. Yang di mana hari-hari ini sering kita maknai sebagai sebuah kekeliruan bahwa relativisme sebagai toleransi.