Scroll untuk baca artikel
Blog

Kegamangan Demokrasi di Tengah Riuhnya Polemik Agama

Redaksi
×

Kegamangan Demokrasi di Tengah Riuhnya Polemik Agama

Sebarkan artikel ini

Konstitusi-konstitusi negara hukum modern pada dasarnya dibangun di atas dasar sekularisme politis, suatu basis politis yanng diduga akan menjadi motor untuk sekularisasi sosio-kultural. Banyak intelektual waktu itu merumuskan keyakinan mereka dalam pemahaman sekularisasi, suatu keyakinan bahwa agama secara bertahap dan progresif akan pudar oleh moderninasi dan rasionalisasi masyarakat.

Dewasa ini pemahaman tersebut tentunya terkesan sangat rancu dan terbukti gagal. Yang terjadi bukan kematian, melainkan kebangkitan agama-agama. Dari seluruh populasi dunia, ada 32% pemeluk kekristenan, 21% Islam, 15% Hindunisme, 5,5% agama-agama suku, 5,5% konfusianisme, 5,5% Buddishme, 0,35% Sikhisme, 0,25%Yudaisme, 2,4% keyakinan lainnya, dan hanya 15% tidak beragama.

Di benua Eropa yang kerap dituduh “ateistis” itu cuma 5% yang terus terang mengakui ateis. Apa kita berada pada zaman relevantisme agama? Jauh juga dari itu, kerena seperti dilihat Jose Casanova, berlangsung juga ‘denominasionalisme global’ dalam agama-agama. Jadi kita tidak berada  pada zaman sekular, melainkan zaman hiperkompleks.

Di dalam hiperkompleks ini para petarungan doktrin memperebutkan pengaruh jejaring. Para prajurit imanpun tampil ke arena politis siap meledakan tubuhnya dengan teror lebih dahsyat dari pada berjibaku dengan tentara Jepang di masa lampau. Literatur Barat berbicara tentang ekspansi pasar-pasar kekerasan yang memperjualbelikan ‘perang-perang kecil global’.

Dewasa ini agama seolah menjebol pagar-pagar wilayah privat yang pernah ditetapkan dalam perjanjian Westphalia, dan iman memiliki prospek untuk kembali menjadi kategori politis yang penting. Entah dengan mengabaikan atau bersemangat, dalam penanganan terorisme islam dan pengungsi Timur Tengah politik kontemporer nau tak mau harus mengkarkulasikan iman sebagai faktor indentitas yang menentukan untuk mengakses seseorang dalam komunikasi.

Kompleksitas bertambah manakala iman itu, sebagai suatu Weltanshauung, dibenturkan dengan nilai-nilai sekular modern, seperti Ham, yang darinya tumbuh bukan hanya  ideologi  pasar (kapitalisme), ideologi sains (natualisme), ideologi politis (liberlisme), melainkan juga ideologi kelamin (LGBTIQ). Hiperkompleksitas menghasilkan perpleksitas yang kemudian dicoba distabilisasi dengan mantara populer bernama relativisme.

Dalam masyarakat kita agama-agama tidak pernah pudar, maka orang tak bicara tentang kebangkitan mereka, seolah dikubur. Problem kita bukan sekularisme, melinkan radikalisme agama. Menyusul peristiwa 9/11, ada seri bom bunuh diri Bali, Jakarta, Solo dan yang lainnya. Di samping terorisme , radikalisme menghasilkan  prestasi negatif dalam bentuk pembakaran geraja, penganiayaan  warga Ahmaddiyah dan Shiah, dan seterusnya lagi.