Pandangan ini justru sangat bertentangan dengan toleransi dan kemajemukan agama yang mengandalkan klaim kebenaran yang unik tiap agama yang membedakan agama satu dari yang lain. Relativisme bisa jatuh ke dalam absolutisme dengan mendesak agama-agama lainnya untuk medesak klaim-klaim kebenaran mereka yang memang berbeda-beda, sehingga relativisme tidak pluralis.
Tolarnsi tidak bisa dibangun dengan mengabaikan atau eleminasi perbedaan, melainkan justru dengan menerimanya. Prinsip etis hubungan antar agama di sini adalah saling respek kepada yang lain dalam keberlainanya. Masyarakat kita berciri multikultural dan telah terbiasa dengan pluralitas agama, misalnya dengan banyaknya pasangan campur agama, pemukiman heterogen, dan berbagai bentuk sinskeretisme kultural.
Kedua, kebebasan beragama dalam masyarakat tidak dijamin jika para agamawan bersifat triumfalis dan ekslusivitas dalam iman mereka. Dalam ekslusivitas keselamatan, iman agama sendirilah yang dinilai benar, dan hanya orang-orang dari kelompok sendirilah yang selamat, sedangkan orang-orang dari agama lain tidak selamat.
Memang pandangan tersebut tidak selalu memotivasi kekerasan, tetapi sangat kerap kekerasan atas nama Tuhan dilegistiminasikan oleh pandangan ini. Jika orang yang memiliki keyakinan lain itu dianggap sesat dan berbahaya, tidak ada cara lain selain menyingkirkan mereka demi iman yang benar. Perang-perang kecil global yang dilancarkan jejaring teroris Al-Qaeda dan ISIS, misalnya sangat tergantung secara ideologis pada ekslusivisme keselamatan.
Di Indonesia peristiwa Cikeusik, Sampang atau Tolikara tidak terjadi tanpa justifikasi soteriologi tersebut, entah secara emplisit maupun eksplisit. Jika kebebasan beragama hendak dijamin diperlukan kesediaan agamawan untuk terbuka kepada yang lain. Diperlukan iman inklusif, yakni iman yang terbuka terhadap kepercayaan lain tanpa menjadi relativistis.
Ketiga, kebebsan beragama dalam masyarakat kompleks terncam oleh dua macam jebakan pikiran yaitu; intelektualisme dan fideisme. Yang satu meremehkan iman sebagai irasional dan infantil, sementara yang lain mencurigai nalar sebagai racun bagi iman. Prinsip etis di sini adalah kerendahan hatian sebagai mahkluk hidup yang belum selesai mencari kebenaran.
Agamawan perlu memiliki suatu keinsyafan mendasar akan paradoks anatara kebenaran final wahyu di suatu pihak dan ketakselesaian akal manusia untuk memahaminya. Bahaya intelektualitas belum menggejala dalam masyarakat kita. Yang sering kita hadapi di Indonesia adalah bahaya fideisme, mungkin karena thoughtlessness dikira menimbulkan iman yang benar dan kepastian psikis.
Para fideis berpandangan bahwa tidak ada kebenaran lain selain kebenaran iman, dan untuk mengetahuinya orang cukup beriman saja, yakni tanpa akal, karena akal dianggap meracuni iman. Fideisme menggangu iklim kebebasan beraganma karena anti dialog ( untuk apa berdialog jika kebenaran diyakini sudah ditemukan dalam doktrin imannya). Banyak fideisme hanya punya dua kategori yakni surga dan neraka, sedang kategori ketiga diabakan begitu saja. Padalah pada kenyataannya di dunia ini dunia ini hidup bersamaan.
Keempat, kebebasan beragama tidak sama dengan ‘pasar bebasa penyiar agama’. Oarang berhak untuk tidsk diganggu rasa nyamannya dalam beriman. Yang dipersoalkan di sini bukan isi kebenaran yang diwartakan, melainkan sikap (yang sering manifulatif,koersif, dan agresif) terhadap pendengarnnya. Salah satu sumber teologis praktik siar agama yang koersif dan manifulatif adalah eksklusivisme agama yang berfungsi seperti ideologi partai merekrut anggota baru.