Scroll untuk baca artikel
Blog

Kehebohan Setelah Reuni – Cerpen Sapto Wardoyo

Redaksi
×

Kehebohan Setelah Reuni – Cerpen Sapto Wardoyo

Sebarkan artikel ini

Mobil Edy datang, sebuah Toyota Innova berwarna hitam yang masih baru dan mengkilap. Setelah kembali bersalaman, dia segera membuka pintu tengah dan masuk ke dalamnya. Tak lama kemudian Herman pun pamit, lalu melangkah menuju mobil mewahnya. Sebuah Pajero Sport berwarna putih. Tinggal aku, Hanafi, Bambang dan Bagio.

“Jangan lupa untuk saling memberi kabar ya, saling SMS…” kata Bagio menegaskan. Aku tersenyum.

“SMS? ” gurauku. Bagio tertawa, dan paham kalau aku sedang meledeknya.

“Maklumlah, aku kan bukan pegawai seperti kalian. Setiap hari yang aku bawa ya cangkul, dan kerjaku di sawah, panas dan keringatan. Bukan di kantor yang dingin dan sejuk.” Balasnya. Kami tersenyum. Akhirnya Bagio pun juga pamit menuju motornya. Demikian juga dengan kami, aku dan Hanafi, setelah mengucapkan terima kasih kepada Bambang yang sudah mau ditunjuk sebagai ketua panitia dalam acara reuni ini, kami pun pamit. 

Aku dan Hanafi akan menjalankan rencana kami selanjutnya, yaitu mengunjungi teman kami yang bernama Manto, teman sekelas kami yang tidak bisa hadir. Menurut Hanafi, keadaannya sangat memprihatinkan. Terkena stroke dan ditinggal begitu saja oleh istrinya, ditambah dengan kondisi adik perempuannya yang terkena gangguan jiwa. Entah apa penyebabnya.

Dan ketika kami tiba di rumahnya, aku lihat Manto sedang duduk di kursi roda di beranda rumahnya yang terlihat kurang terurus. Aku tertegun melihat kondisi temanku itu. Badannya kurus, rambutnya hampir semua memutih, tatap matanya suram, hampir tak menyiratkan cahaya dan kegairahan. Wajahnya  tampak jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Aku benar-benar trenyuh.

“Kamu ingat nggak Man, siapa dia?” tanya Hanafi padanya. Manto tampak sedang berpikir keras.

“Siapa ya? Aku ingat, tapi lupa namanya. Aduh, siapa ya?” gumamnya sambil tak henti-henti melihat pada diriku.

“Sap…” Hanafi memancing. Tiba-tiba wajah Manto menjadi sedikit cerah. Matanya melebar.

“Ya, aku ingat. Sapto kan?” Serunya gembira. Aku terharu, ternyata dia masih ingat nama lengkapku. Kujabat tangannya erat-erat.

“Kamu sekarang gemuk banget. Katanya tinggal di Jakarta?” kata Manto agak tersendat. Aku mengangguk. Dan dia masih terus menatap wajahku, dengan senyum samar di bibirnya. Mungkin memorinya ketika kami masih SMA sudah sedikit terbuka. Dan akhirnya kami mengobrol tentang hal yang ringan-ringan saja. Terutama tentang masa-masa ketika kami masih sekolah. Kejadian-kejadian konyol yang masih kami ingat, kami ungkap kembali. Dan ternyata hal ini bisa mendatangkan sebuah kegembiraan di hati Manto. Hal itu bisa aku baca dari rona yang memancar di wajahnya. Aku sama sekali tak menyinggung tentang rasa sakitnya, supaya tidak mendatangkan rasa sedih di dalam dirinya. Apalagi tentang keluarganya. Ibunya sudah kelihatan tua sekali dan adiknya yang mengalami gangguan jiwa, kadang-kadang menangis sendiri dan berbicara dengan kata-kata yang tak jelas maksudnya. Dalam hati aku bertanya, kenapa kehidupan berlaku begitu kejam terhadap keluarga temanku ini? Apakah ini takdir, ataukah memang kehidupan itu sendiri yang berlaku tidak adil terhadap sebagian orang?