Setelah kami rasa cukup, setelah aku menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada genggaman tangannya, kami mohon pamit. Manto menangis sesenggukan. Aku dan Hanafi tak mampu lagi menahan rasa haru. Mata kami berkaca-kaca. Tuhan, tunjukkan belas kasihan-Mu kepada keluarga Manto. Kembalikan kebahagiaannya, sembuhkan sakitnya, doaku dalam hati dengan perasaan yang mengharu biru.
*****
Seminggu setelah reuni.
Aku telah kembali ke Jakarta, kembali menjalani kehidupanku dan juga pekerjaanku. Rasanya aku seperti kembali pada dunia nyata, kembali pada kehidupan yang sebenarnya. Beberapa hari yang kami lewati di kampung halaman seperti sebuah mimpi. Dan saat ini kami sudah harus terjaga dari mimpi indah itu. Seperti ungkapan dalam sebuah film yang berjudul Matrix, welcome to the real world!
Setelah acara reuni itu, WA grup dari alumni SMA kami, jadi makin ramai dengan berbagai macam guyonan. Apalagi kalau ada teman yang baru masuk, akan semakin ramai. Aku menanggapi sewajarnya saja. Tidak terlalu aktif, tapi juga tidak terlalu pasif.
Suatu siang ketika jam istirahat dan setelah makan siang, seseorang mengirim pesan lewat WA. Awalnya dia tanya kabar dan keadaanku. Aku jawab dengan sewajarnya sambil kembali bertanya ini siapa. Karena profilnya bukan foto sang pemilik HP melainkan hanya gambar sekuntum bunga. Ternyata pesan itu dari Weni, temanku SMA.
Kemudian dia bercerita banyak tentang kehidupannya. Katanya, suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dan dia harus berjuang menafkahi ketiga anaknya yang semuanya masih sekolah. Hingga akhirnya dia berterus terang untuk minta bantuan seikhlasnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku tercenung. Aku merasa berada pada satu pilihan yang sulit. Satu sisi, aku kasihan mendengar kisah si Weni. Sisi yang lain aku bertanya dalam hatiku, kenapa Weni harus melakukan cara ini, menjual kesedihan dan mengiba pada teman-teman sekolahnya?
Dan ternyata hal ini juga pernah dilakukan pada Hanafi. Terpaksa? Mungkin juga, tapi sekali lagi kenapa harus cara ini yang ditempuh? Ah, mungkin Weni memang sudah benar-benar kepepet dan tak menemukan cara yang lain lagi. Setelah aku pertimbangkan, akhirnya rasa kemanusiaanlah yang bicara. Aku berjanji akan membantu semampuku. Tapi dengan catatan hanya untuk kali ini saja. Aku tak mau ini menjadi kebiasaan!
*****
Tiga minggu setelah reuni.
Beberapa teman SMA yang sering menghubungiku setelah kami kembali dipertemukan, adalah Hanafi dan juga Bagio. Ada juga yang lainnya, tapi hanya sekedar bertanya aku sekarang tinggal di mana atau anakku ada berapa. Tapi Hanafi dan Bagio lebih sering dari yang lainnya. Bagio sering kali menceritakan suka dukanya dalam bertani.