Kemudian dia bercerita banyak tentang kehidupannya. Katanya, suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dan dia harus berjuang menafkahi ketiga anaknya yang semuanya masih sekolah. Hingga akhirnya dia berterus terang untuk minta bantuan seikhlasnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku tercenung. Aku merasa berada pada satu pilihan yang sulit. Satu sisi, aku kasihan mendengar kisah si Weni. Sisi yang lain aku bertanya dalam hatiku, kenapa Weni harus melakukan cara ini, menjual kesedihan dan mengiba pada teman-teman sekolahnya?
Dan ternyata hal ini juga pernah dilakukan pada Hanafi. Terpaksa? Mungkin juga, tapi sekali lagi kenapa harus cara ini yang ditempuh? Ah, mungkin Weni memang sudah benar-benar kepepet dan tak menemukan cara yang lain lagi. Setelah aku pertimbangkan, akhirnya rasa kemanusiaanlah yang bicara. Aku berjanji akan membantu semampuku. Tapi dengan catatan hanya untuk kali ini saja. Aku tak mau ini menjadi kebiasaan!
*****
Tiga minggu setelah reuni.
Beberapa teman SMA yang sering menghubungiku setelah kami kembali dipertemukan, adalah Hanafi dan juga Bagio. Ada juga yang lainnya, tapi hanya sekedar bertanya aku sekarang tinggal di mana atau anakku ada berapa. Tapi Hanafi dan Bagio lebih sering dari yang lainnya. Bagio sering kali menceritakan suka dukanya dalam bertani.
Tapi aku benar-benar kagum dengan temanku yang rambutnya ikal dan berpostur pendek itu. Dia adalah seorang yang tekun dan juga ulet. Dari hasil bertaninya dia mampu menguliahkan dua anaknya. Yang nomor satu sudah menjadi seorang guru dan sudah mau menikah. Sedangkan yang nomor dua masih kuliah di Surabaya. Luar biasa, pikirku. Dengan segala kesederhanaan yang ada di dalam dirinya, ternyata ada sesuatu yang sudah dicapai dalam hidupnya.
Hanafi kembali meneleponku. Seperti biasa, pada siang hari ketika aku sudah selesai makan dan masih menikmati jam istirahatku.
“Ada kabar penting yang kamu harus tahu.” Katanya. Aku terperangah. Wah, ada apa lagi ini, tanyaku dalam hati.
“Apa, ada yang mau menghubungiku lagi?” tebakku asal. Hanafi tertawa keras.
“Tebakanmu tepat! Kamu punya ilmu kebatinan ya? Atau mungkin trauma?”
“Siapa lagi?” tanyaku. Sejenak Hanafi terdiam. “Han, kok malah diam?”
“Tadi pagi Edy WA aku, kamu tahu dia bilang apa?” Hanafi kembali menghentikan ucapannya, tiba-tiba ada sesuatu yang tidak enak yang aku rasakan dalam hati. “Dia cerita katanya sedang menangani sebuah kasus di kantor kejaksaan. Proyek besar, katanya bernilai miliaran. Dan sekarang ini dia sedang berada di Jakarta untuk beberapa hari, sampai kasus yang dia tangani ada hasilnya. Dan…” kembali Hanafi menghentikan bicaranya. Memancing rasa penasaranku. Tapi dia segera melanjutkan ucapannya tanpa aku harus meminta. “Dia mau pinjam uang sebesar sepuluh juta, katanya untuk operasional sehari-hari. Nanti kalau kasusnya sudah selesai akan dikembalikan. Aku jawab tidak punya, lalu dia menurunkan nominalnya jadi lima juta, aku tetap bilang tidak ada, dan dia kembali menurunkan jadi tiga juta. Aku tetap bilang tidak ada. Bahkan akhirnya dia hanya minta satu juta. Aku juga tetap bilang tak punya, karena aku merasa ada yang tidak beres.”
“Edaaaan.” Teriakku.
“He, jangan edan dulu! Soalnya menurut penerawanganku, sepertinya beliau akan menghubungimu juga.” Kata Hanafi sambil tertawa.
“Ah, kalau ini aku sudah siap Han. Beda dengan si Weni, kalau dia mungkin memang benar-benar membutuhkan. Tapi kalau Edy, sepertinya modus. Dan ini akan lebih gampang menghadapinya, karena tidak ada rasa kemanusiaan yang harus bicara. Atau kalau perlu, tak usah ditanggapi. Biarkan saja, selesai urusannya.”