SIAPA sebenarnya yang paling berkuasa dalam menentukan arah bangsa ini? Apakah presiden? Apakah orang-orang berpengaruh di sekitar presiden? Atau para ketua partai politik?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut, karena kekuasaan itu sangat relatif. Kekuasaan bukan saja ada ada di tangan mereka yang berpengaruh secara politik atau ekonomi. Kekuasaan juga melekat pada orang-orang yang menguasai pengetahuan dan teknologi.
Terlepas seperti apa kekuasaan itu bekerja, tulisan ini ingin melihat kekuasaan itu sebagai kemampuan untuk memengaruhi (the ability to influence).
Kemampuan untuk memengaruhi ini tentu saja tidak dimiliki oleh sembarangan orang. Ada kriteria tertentu yang membuat seseorang atau sekelompok orang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi, dan tidak dimiliki oleh sekelompok orang lainnya.
Karena itu, Max Weber, menyebutkan kekuasaan dengan istilah otoritas, dan membaginya menjadi tiga, yakni otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas legal-rasional.
Otoritas tradisional biasanya berkembang dalam masyarakat tradisional yang terikat pada sistem kepercayaan (beliefs), nilai-nilai (values), dan norma-norma (norms) tradisional.
Otoritas kharismatik biasanya melekat pada individu-individu yang mempunyai kemampuan luar biasa, dan mengeluarkan aura kharismatik di kalangan pengikutnya. Otoritas kharismatik ini biasanya berlaku seumur hidup bagi sang tokoh.
Sementara otoritas legal-rasional merupakan otoritas yang dilegitimasi oleh sebuah sistem kekuasaan modern, dan berlandaskan pada aturan legal-rasional. Seorang presiden, gubernur, dan jabatan politik lainnya adalah mereka yang memegang otoritas legal rasional, di mana dalam sistem demokrasi, otoritas ini diatur batas-batasnya.
Otoritas tradisional mulai sulit kita temui dalam dunia modern saat ini, kecuali dalam komunitas-komunitas terasing dan masih mempertahankan pola hidup tradisional, seperti komunitas Badui di Banten.
Sedangkan otoritas kharismatik banyak kita temui pada tokoh-tokoh informal seperti ulama, kiai, pendeta, paus, tokoh ormas di depan pengikutnya, dan sebagainya.
Tokoh-tokoh yang mempunyai kekayaan ekonomi luar biasa juga bisa menjelma menjadi tokoh kharismatik di kalangan orang-orang di sekitarnya—Sering kali tokoh legal-rasional juga merupakan mereka yang sebelumnya mempunyai otoritas kharismatik di kalangan pengikutnya.
Bagaimana dengan mereka yang berjuang untuk sukses, namun tidak mempunyai otoritas kharismatik, dan sejenisnya. Apakah bisa meraih otoritas legal-rasional?