BARISAN.CO – Emisi gas rumah kaca dari batu bara, miyak, serta gas menambah pemanasan global dan melepaskan partikel kecil yang beracun. Partikel kecil ini, yang oleh para ilmuwan disebut PM2.5, adalah partikel mematikan atas kemampuannya menembus paru-paru dan menyebabkan kanker, penyakit jantung koroner, stroke, dan kematian di usia dini.
Partikel dengan ukuran 2,5 mikron atau lebih kecil dari itu dianggap berbahaya karena dapat melewati banyak pertahanan di tubuh kita seperti bulu hidung dan lendir.
Environmental Research memperkirakan, jumlah kematian akibat debu halus tersebut melebihi jumlah gabungan yang meninggal akibat rokok dan malaria.
Di Asia Timur, debu halus merupakan pembunuh tak kasat mata yang menyebabkan satu dari tiga kematian pada anak usia 14 tahun ke atas. India dengan tingkat polusi udara tertinggi menyebabkan lebih dari satu juta orang meninggal setiap tahunnya. Ibu kotanya, Delhi, berada di peringkat atas sebagai ibu kota paling tercemar di dunia dengan tingkat kematian mencapai 54.000 jiwa pada tahun 2020.
Memang sepanjang tahun 2020, pandemi memperlambat perekonomian dan memangkas emisi CO2. Namun saat ekonomi mulai berjalan, aktivitas mulai bergerak normal, emisi PM2.5 meningkat kembali termasuk tingkat kematian.
Akan bahaya PM2.5, praktik sosialisasi yang baik sudah dilakukan beberapa negara. Korea Selatan salah satunya. Di sana, pemerintah sering memperingatkan warganya soal debu halus. Mereka juga menjadikan peringatan debu halus sebagai informasi yang disebarkan kepada masyarakat luas untuk waspada serta upaya mitigasi atas bahaya polusi.
Di Indonesia, rasanya belum ada peringatan tersebut. Belum ada kepedulian mitigasi polusi udara yang demikian diresonansi ke tengah percakapan publik.
Justru sebaliknya, saat negara lain telah berkomitmen menurunkan emisi dengan mengganti sumber batu bara dengan energi terbarukan, kita malah sibuk membangun PLTU, yang menghasilkan NOx dan SOx yang merupakan kontributor utama pembentuk hujan asam serta polusi PM2.5.
Tak sekedar itu, keberpihakan pemerintah kepada batu bara bahkan makin ditegaskan lewat UU Cipta Kerja yang kontroversial itu. UU ini memberikan insentif kepada industri batu bara dengan royalti 0% yang mendapat keistimewaan hingga 2024.
Dikutip dari Forest Digest, menurut Global Alliance on Health Pollution, tingkat polusi di Indonesia menjadi penyebab kematian 232.974 per tahun. Sekitar 123.754 disebabkan oleh polusi udara. Studi dari Rumah Sakit Persahabatan dan Dharmais Jakarta juga menemukan 4% penyakit paru-paru disebabkan oleh polusi udara.
Selain menyebabkan kematian, kerugian ekonomi juga diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah akibat buruknya kualitas udara di tanah air. Perlu ada langkah strategis terkait ini. Apalagi, kita, Indonesia, telah berjanji pada dunia untuk menurunkan emisi udara dengan usaha sendiri sebesar 29% atau dengan bantuan internasional sebesar 41% pada tahun 2030. []