Menjelang Muktamar Muhammadiyah yang ke-42 pada 1990, kritik juga dilontarkan Lukman Harun, Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah. Ia menegaskan perlu profesionalisme manajemen dalam organisasi sebesar Muhammadiyah.
Di kesempatan yang sama Amien Rais juga mengkritik tentang kaderisasi. Menurutnya Muhammadiyah akan tumbuh segar, dinamis, dan kreatif andai kader Muhammadiyah merotasi kepemimpinannya.
“Kalau bisa Muhammadiyah bukan saja patah tumbuh hilang berganti. Namun sebelum patah sudah berganti dan tumbuh. Sebelum hilang sudah ada gantinya.” Kata Amien Rais, diwawancarai oleh mantan wartawan Tempo Faried Cahyono pada tahun 2010 mengomentari kepemimpinan Pak AR.
Mengkritik Muhammadiyah
Sebetulnya, Pak AR juga menaruh perhatian tentang kaderisasi. Ia mencemaskan betapa sebagai organisasi besar, Muhammadiyah sering gagal menampung dan menyediakan pendidikan bagi kader-kadernya. Dulu di masa kepemimpinannya, hal ini acap terjadi. Tak sedikit kader gagal mengenyam sekolah karena faktor biaya.
Dalam reportase yang ditulis Faried Cahyono, Pak AR juga menaruh keprihatinan kepada anak yang sudah bertahun-tahun sekolah di Muhammadiyah, tetapi tidak bisa membaca al-Quran. “Mengapa terjadi demikian, apa yang salah dari sekolah itu?” Kata Pak AR.
Demikianlah alasannya mengapa Pak AR cukup ketat dan teliti melakukan kontrol atas hasil lulusan. Ia akan turun tangan langsung untuk menilai hal-hal elementer lulusan Madrasah Muallimin Muhammadiyah seperti bagaimana salatnya, kefasihannya membaca al-Quran, dan cara dakwahnya.
Pak AR juga meminta para lulusan untuk berkunjung ke tokoh-tokoh Muhammadiyah agar mendapat inspirasi dan keteladanan dari mereka. Tradisi ini berjalan dengan baik. Pernah terhenti beberapa periode setelah kepemimpinannya, namun dimulai lagi pada tahun 2009.
Kritik juga Pak AR lontarkan melihat cara Muhammadiyah mengelola rumah sakit, yang dinilainya tidak cepat, kurang ramah dan santun, serta tidak memuaskan umat. Kecenderungan membeda-bedakan si kaya dan si miskin juga masih kental pada saat itu.
Lewat kritik-kritiknya, Pak AR seperti ingin meletakkan Muhammadiyah sebagai pelayan umat. Cara kepemimpinannya pun jelas mencerminkan hal itu. Dalam khazanah Jawa, ia memimpin dengan manjing ajur ajer, menempatkan diri sederajat dengan siapa saja tanpa kecuali.
Dapat dikatakan bahwa Pak AR adalah sosok penting dalam dinamika kebangsaan dan keumatan di Indonesia. Hampir pasti ketika Indonesia dihadapkan pada krisis kepemimpinan, nama KH. Abdul Rozak Fachruddin teresonansi dalam percakapan publik. Lebih-lebih tidak banyak seperti Pak AR, pemimpin yang mudah dijangkau, dekat, memudahkan persoalan, terasa seperti kawan biasa. []