Analisis Awalil Rizky

Kisruh Besarnya Subsidi BBM (bagian dua)

Awalil Rizky
×

Kisruh Besarnya Subsidi BBM (bagian dua)

Sebarkan artikel ini

Ada sedikit penjelasan tentang kompensasi BBM dan tarif listrik, yang masih dialokasikan sebesar Rp18,50 Trilyun. Namun karena tidak ada Nota Keuangan dalam hal Perpres 98, maka narasi hal ini tidak disajikan, padahal nilainya meningkat 14 kali lipat. Informasi publik diperoleh dari pernyataan pejabat, terutama Menkeu dan jajarannya.

Dasar Hukum dan Arah Pengelolaan Subsidi Energi yang Kurang Jelas

Jika ditelusuri dasar hukum dari dana kompensasi tesebut, rujukannya adalah Peraturan Menteri Keuangan. yaitu PMK Nomor 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan Tarif Tenaga Listrik.

PMK itu sendiri merujuk pada Pasal 16A Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dikatakan bahwa Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan dan/ atau kekurangan penerimaan badan usaha penerima penugasan sebagai akibat dari penetapan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu dan jenis bahan bakar minyak khusus penugasan.

Terlepas dari adanya dasar hukum, tetap akan menimbulkan pertanyaan mengenai kejelasan arah kebijakan pengelolaan dana APBN terkait BBM dan lsitrik. Sejak awal, Pemerintahanan Jokowi telah mengurangi subsidi BBM secara sangat signifikan, dan narasinya mengarah pada penghapusan secara perlahan. Antara lain beralasan tidak tepatnya sasaran subsidi, dan akan dialokasikan pada arah yang lebih tepat.

Secara perlahan, sebagian subsidi berubah bentuk menjadi dana kompensasi. Tampak melonjak signifikan sejak tahun 2020. Menimbulkan pertanyaan mengapa tidak diperlakukan sebagai alokasi subsidi energi saja sejak awal. Akibatnya, tidak hanya publik, bahkan ada anggota DPR dan pengamat ekonomi yang tidak mengerti informasi tersebut.

Kenaikan ICP dan Pelemahan Kurs Rupiah Berdampak pada Pendapatan dan Belanja Negara

Di atas telah disampaikan bahwa diantara penyebab utama meningkatnya subsidi dan kompensasi energi menurut Sri Mulyani adalah harga minyak (ICP) yang tinggi dan kurs rupiah yang melemah. Keduanya tidak sesuai dengan asumsi makroekonomi APBN tahun 2022.

Tampak pula opini publik yang coba dibangun seolah APBN akan jebol jika tidak menaikan harga Solar dan Pertalite. Dibumbui perumpamaan alokasi sebesar itu bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif.

Akan tetapi, kenaikan ICP dan pelemahan kurs sebagai alasan utama perlunya kenaikan merupakan hal yang tidak berdasar. Tidak sesuai pula dengan dokumen resmi berupa Nota Keuangan dan APBN 2022.

Dokumen tersebut telah membuat simulasi tentang kedua faktor itu, sebagai bagian dari penjelasan tentang risiko fiskal. Disajikan bahwa kenaikan tiap satu dollar dari ICP (dibanding asumsi APBN) memang  berdampak bertambahnya belanja (termasuk subsidi dan kompensasi) sebesar Rp2,6 Trilyun. Namun, pada saat bersamaan Pendapatan justru bertambah lebih banyak, yaitu sebesar Rp3 Trilyun. Dengan kata lain, dalam simulasi ini justru “menguntungkan” kondisi APBN. [rif]