Scroll untuk baca artikel
Blog

Konsistensi Fahmi Rosyadi Merintis Bisnis Agro Berbuah Manis

Redaksi
×

Konsistensi Fahmi Rosyadi Merintis Bisnis Agro Berbuah Manis

Sebarkan artikel ini

Jalan tak selalu mulus, begitu juga dengan kisah perjuangan Fahmi Rosyadi merintis bisnis agro.

BARISAN.CO – Dalam membangun bisnis, konsistensi jauh lebih penting dari yang dibayangkan banyak orang. Tanpa konsistensi, bisnis dipastikan akan gagal.

Salah satu sosok yang konsisten itu Fahmi Rosyadi. Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, sejak tahun 2000, menjalankan perusahaan Natural Nusantara (Nasa) bersama kawan-kawannya.

Saat itu, Fahmi menyebut, modal untuk membangun usaha tersebut berasal dari urunan dengan kawan-kawannya. Sebelum memulai usaha, Fahmi mengaku, pernah kerja untuk orang Thailand di bidang perikanan, khususnya riset tambak udang.

Fahmi tergolong brilian. Saat bekerja, dia serap dan gunakan ilmu yang dia dapatkan hingga sekarang.

Seolah semesta merestui, di Nasa juga tergabung formulator yang memang bergerak di bidang agro bernama Ir. Sumarno, yang sudah lama sekali mengkaji tentang pertanian ramah lingkungan dan pembuatan pupuk organik. Sumarno menjadi guru bagi pendiri Nasa.

Awal mula didirikan, istilah organik dan ramah lingkungan mungkin belum familiar di telinga masyarakat Indonesia. Namun, sekarang, produk ramah lingkungan justru menjadi tuntutan bagi dunia usaha. Ke depan, teknologi yang basic-nya chemical itu sudah ditinggalkan orang, katanya.

Atas konsistensi Fahmi dan kawan-kawannya itulah, Nasa kini tidak hanya bergerak di bidang agro, namun merambah ke bidang kosmetik, kesehatan, dan rumah tangga.

“Khusus saya memang nangani pupuk dan suplemen ternak. Terus kemudian untuk tambak udang dan perikanan, itu bidang yang saya tekuni,” ungkap Fahmi kepada Barisanco.

Jalan Fahmi bisa dikatakan mulus, ilmu dari kampus, tempat kerja, dan Sumarno yang dia anggap Profesornya sendiri, yang dia anggap Nasa bisa tetap eksis.

Namun, bak petir di siang bolong, bisnis yang dia jalani perlahan mulai lesu. Menurut penuturannya, efek pandemi baru terasa sekarang.

“Pandemi kemarin itu belum ada penurunan omzet, tapi sekarang tinggal sepertiga dari biasanya karena daya beli masyarakat sangat menurun. Pasar kita bukan perkotaan, tapi pedesaan yang kondisi ekonominya paling terpukul,” tambahnya.

Dia melanjutkan, kendala yang dialami saat menjalankan bisnis ini ketika kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada petani.

“Ketika petani menanam, panen, tapi harga komoditas turun, besoknya mereka ga mau beli pupuk dan pestisida lagi. Pokoknya nanam saja untuk hidup, tidak mikirin kebutuhan lainnya,” jelasnya.

Apalagi kalau pemerintah jor-joran impor, yang mungkin, menurut Fahmi untuk mengejar fee impor, efeknya begitu dirasakan ke petani.

April 2022, terbitnya Permendag Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO dan Turunannya membuat harga sawit terjun bebas, usaha Fahmi pun terimbas.

“Harga sawit CPO bisa dibawah Rp1.000/kg, petani sudah ga mau beli pupuk lagi. Tsunami betul bagi saya jadinya,” tuturnya.

Selain situasi tak terduga seperti pandemi, kebijakan pemerintahlah yang memporak-porandakan bisnisnya.

Fahmi menuturkan, kondisi petani saat ini sebenarnya terombang-ambing karena tidak adanya program pembinaan seperti era Soeharto, misalnya saja sapta usaha tani dan dasa usaha tani. Terbiasa di lapangan, Fahmi menyaksikan langsung, bagaimana petani harus berpikir dan berhadapan dengan pasar besar sendirian.

Dengan kondisi seperti itu, Fahmi menilai, petani pun kurang tepat dalam bertani dan teknologi yang digunakan, yang membuat produksi pertaniannya menjadi turun.

Kalau kita punya kemauan untuk memberi perhatian khusus pada petani seperti era Pak Harto, swasembada apa pun sangat mudah karena kita punya segalanya.