“Harga sawit CPO bisa dibawah Rp1.000/kg, petani sudah ga mau beli pupuk lagi. Tsunami betul bagi saya jadinya,” tuturnya.
Selain situasi tak terduga seperti pandemi, kebijakan pemerintahlah yang memporak-porandakan bisnisnya.
Fahmi menuturkan, kondisi petani saat ini sebenarnya terombang-ambing karena tidak adanya program pembinaan seperti era Soeharto, misalnya saja sapta usaha tani dan dasa usaha tani. Terbiasa di lapangan, Fahmi menyaksikan langsung, bagaimana petani harus berpikir dan berhadapan dengan pasar besar sendirian.
Dengan kondisi seperti itu, Fahmi menilai, petani pun kurang tepat dalam bertani dan teknologi yang digunakan, yang membuat produksi pertaniannya menjadi turun.
Kalau kita punya kemauan untuk memberi perhatian khusus pada petani seperti era Pak Harto, swasembada apa pun sangat mudah karena kita punya segalanya.
“Lahan sawah kita masih 8 juta hektare, kalau kita bisa melaksanakan intensifikasi dengan teknologi yang tepat untuk meningkatkan produksi. Kita ga perlu memperluas lahan seperti yang dilakukan di food estate,” jelasnya.
Fahmi bahkan tak segan-segan mengeluarkan pernyataan, “Saya pribadi bisa melakukannya”. Terbiasa berbaur dengan petani dan bergulat dengan dunia agro, kata-kata itu lumrah ia sampaikan.
“Petani yang biasa panen itu 4-5 ton, dengan teknologi sekarang bisa dibuat 10 ton. Secara otomatis, kalau lahannya 8 juta hektare, tapi hasil panennya dibuat dua kali lipat sama dengan kita membuka lahan seluas 8 juta hektare,” paparnya.
Dia memastikan, dengan begitu, defisit pangan akan tertutup.