Mata Budaya (3)
BARISAN.CO – Jokowi dalam pidatonya baru-baru ini menyampaikan hal menarik. Yakni sebagai presiden dia menginginkan hadirnya kritik. Ihwal ini jadi viral karena memancing polemik di kalangan legislatif, politisi, juga para ahli.
Sayangnya, dalam polemik itu ada hal mendasar yang selalu disalahpahami. Ialah mengenai pengertian kritik.
Misalnya, ungkapan seorang anggota legislatif: saya setuju hadirnya kritik, asalkan kritik yang membangun.
Ada kesalahan diksi, sebab kritik adalah satu bentuk tulisan. Kritik mesti terstruktur, berdasar data, dan harus ada solusi. Jadi, kritik mesti membangun. Menyebut kritik yang membangun adalah pertanda si pengucap tidak mudeng apa itu kritik.
Dalam dunia kesenian, kita mengenal nama-nama kritikus terpercaya. Di jagad musik kita mengenal kritikus legend, Remy Silado. Dalam sastra, ada nama HB Jassin hingga Martin Suryajaya. Dunia senirupa, Agus Dermawan T atau Sanento Yuliman. Dalam dunia film kita mengenal Seno Gumira Ajidarma hingga Zahid Paningrom.
Nama terakhir sebutlah dari kalangan anak muda milenial. Dia menulis kritik di websitenya sejak berusia 21 tahun, hingga kini masih 25 tahun.
Saat diundang pada Festival Film Bandung 2018, dia ditunggu oleh para kritikus film. Dinanti untuk berdebat, lanjut dari polemik mereka melalui twitter.
Saat kemudian bertemu, mereka terheran, “lho anda Zahid Paningrom?”
“Ya,” jawab Zahid polos.
Alhasil, ungkap Zahid, debat gagal.
Tanya saya, lho mengapa?
Sebab, tawa Zahid, mereka tua-tua, malu mereka debat sama anak kecil hahaha..!
Setua apa, tanya saya penasaran.
Ya, setua bapak, malah ada yang sudah ompong!
Lalu ditambahkan oleh Zahid, kebanyakan mereka menulis kritik berbayar. Artinya, kritik film yang mereka tulis mendapat fee dari PH bersangkutan.
Berbeda dengan Zahid, dia menulis suka-suka saja. Padahal dia bisa nonton film yang disukainya dua atau tiga kali, di bioskop, sebagai pendalaman bagi tulisannya. Bahkan acap dia ditawari menulis satu film, berbayar, dan dia menolak. Dan saat ditanya mengapa, dia menjawab: filmnya jelek!
Saya pun amat suka, sebab ada anakmuda milenial bersikap serupa Zahid.
Hal yang terjadi dalam dunia kritik film itu, tampaknya terjadi juga dalam dunia kritik politik. Orang menyebutnya dengan istilah buzzer.
Kehadiran buzzer selama ini membuat Dewan Pers membuat pernyataan: buzzer membuat kebebasan pers terganggu.
Itu mungkin sebabnya Jokowi membuat pernyataan, bahwa dia membutuhkan kritik. Bisa jadi dia mau meluruskan diksi kritik secara konstruktif.
Persoalannya, bisakah kritik diterima secara sehat, apabila secara mendasar sudah terjadi kesalahan pengertian mengenai makna kritik.
Bahwa kebenarannya, tulisan atau lisan yang hanya mencemooh itu bukan kritik, melainkan intrik!
Tampaknya kita perlu kehadiran banyak kritikus dari kalangan anak muda milenial sekapasitas Zahid Paningrom, termasuk dalam dunia politik.***