BARISAN.CO – Ekonomi Indonesia tahun 2022 tumbuh sebesar 5,31%. Diperhitungkan dari kenaikan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas harga konstan tahun 2022 sebesar Rp11.710,4 Triliun dibandingkan dengan tahun 2021 yang sebesar Rp11.120,1 Triliun. Hal itu disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin kemaren (06/02/2023).
Merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tertinggi selama era Pemerintahan Presiden Jokowi. Rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi, tahun 2015 sampai dengan 2019, sebesar 5,03%. Ketika pandemi, sempat kontraksi sebesar 2,07% pada tahun 2020 dan tumbuh 3,70% pada tahun 2021.
Seluruh sektor yang terdiri dari 17 lapangan usaha mengalami pertumbuhan pada tahun 2022. Pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor Transportasi dan Pergudangan sebesar 19,87%, diikuti Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar 11,97%, dan Jasa Lainnya sebesar 9,47%.
Sementara itu, Industri pengolahan yang merupakan sektor berporsi terbesar dalam PDB tumbuh 4,89%. Sedangkan sektor berporsi terbesar kedua, yaitu Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan hanya tumbuh sebesar 2,25%.
Secara umum terjadi perbaikan tingkat pertumbuhan pada tahun 2022 dialami oleh sebagian besar lapangan usaha. Pertumbuhan negatif atau kontraksi dialami oleh 10 dari 17 sektor pada tahun 2020. Pada tahun 2021 masih terdapat satu sektor yang kontraksi, yaitu Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib.
Pertumbuhan dialami oleh hampir semua komponen pengeluaran, kecuali Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah yang terkontraksi sebesar 4,51 persen. Komponen pengeluaran yang tumbuh tertinggi adalah Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 16,28 persen.
Komponen berporsi terbesar yaitu Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga tumbuh sebesar 4,93%. Sedangkan komponen berporsi terbesar kedua yaitu Pembentukan Modal Tetap Bruto hanya tumbuh sebesar 3,87%.
Awalil Rizky ekonom senior dari Bright Institute yang dihubungi redaksi mengakui memang terjadi pemulihan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan pada tahun 2022. Namun dia memberi beberapa catatan kritis, bahkan menilai pertumbuhan kali ini kurang berkualitas.
Dikatakannya bahwa pertumbuhan kurang ditopang oleh sektor-sektor yang bersifat fundamental bagi perekonomian. Fundamental dimaksud antara lain yang berporsi terbesar dalam PDB serta menyerap banyak tenaga kerja, seperti sektor pertanian dan industri pengolahan. Pertumbuhan sektor pertanian masih jauh di bawah rata-rata sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang sebesar 3,95%. Pertumbuhan sektor industri pengolahan pun masih di bawah pertumbuhan ekonomi.
“Sektor pertambangan dan penggalian yang justeru kembali tampil cukup dominan. Pertumbuhan sebesar 4,38% pada tahun 2022 jauh melampaui rata-rata sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang hanya sebesar 1,31%. Porsinya dalam struktur ekonomi pun melesat menjadi 12,22%. Ini bukan ciri yang baik bagi fundamental ekonomi dan transformasi perekonomian Indonesia,” kata Awalil.
Dalam hal pertumbuhan ekonomi menurut komponen pengeluaran, Awalil memberi catatan bahwa PMTB atau investasi hanya tumbuh 3,87% atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Dan belum kembali pada rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang mencapai 6,02%. Komponen konsumsi rumah tangga memang terbilang pulih, namun masih di bawah pertumbuhan ekonomi dan rata-rata sebelum pandemi.
Terkait dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi dalam komponen Ekspor Barang dan Jasa pada tahun 2021 dan 2022, dinilainya pula sebagai kurang berdampak besar medorong dinamika ekonomi rakyat kebanyakan. Dikhawatirkan pula kinerjanya tidak akan berkelanjutan. Peningkatan terutama karena komoditas batubara, minyak kelapa sawit, serta besi dan baja.