Oleh: Anatasia Wahyudi
Seorang siswa SMA di Bengkulu, inisial MS, dikeluarkan dari sekolah setelah videonya yang berisi ujaran kebencian terhadap Palestina viral di media sosial. Ini adalah sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Tujuan sekolah itu untuk sarana pembelajaran. Baik keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar seharusnya memberikan pendidikan bagaimana seharusnya menyikapi kondisi yang terjadi di Palestina.
MS terpaksa harus putus sekolah. Padahal semestinya pihak sekolah dapat lebih bijak menangani persoalan ini. Walaupun keputusan tersebut diambil dengan melibatkan sejumlah pihak, apakah pihak sekolah pernah menanyakan kepada siswa itu tentang pengetahuannya mengenai kondisi yang terjadi di Palestina?
Menurut KPAI, sejak Januari hingga Februari 2021 anak putus sekolah naik cukup tajam. Penyebabnya adalah menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online, dan meninggal dunia. Siswa di Bengkulu menambah panjang jumlah anak putus sekolah dengan tambahan penyebab yaitu ujaran kebencian.
Ada berbagai pertanyaan di kepala mengenai persoalan tersebut. Pertama, apakah pihak sekolah pernah mengajarkan literasi digital? Apa itu ujaran kebencian? Bagaimana dampaknya? Atau bagaimana seharusnya siswa bijak dalam menggunakan media sosial?
Kedua, apakah pihak sekolah memahami dampak psikologis yang dihadapi MS dan mau bertanggung jawab setelah keputusan tersebut? Sebagai orang dewasa, tentu kita tidak seharusnya lepas tangan, saat seorang anak mendapati masalah, seharusnya dijelaskan duduk masalahnya dan bagaimana seharusnya agar tidak bersikap seperti itu.
Ketiga, MS telah menghapus video yang diunggahnya. Serta menyesali perbuatannya dan juga memita maaf. Ia hanya anak-anak. Tugas orang dewasa membimbing.
Tentu, saya sebagai orangtua khawatir dengan masa depan anak tersebut karena bagaimana pun juga, orang dewasa memiliki tanggungjawab lebih besar dalam mendidik bukan mengeluarkan ia begitu saja.
Media sosial memang tak semuanya positif, ini juga menjadi masalah yang harus diselesaikan. Terutama melihat gaslighting yang dilakukan oleh warganet begitu mengerikan. Ia telah menerima risiko atas perbuatannya lewat hujatan-hujatan yang datang padanya. Dengan dikeluarkan dari sekolah, saya khawatirkan ia akan down.
Bagi saya, ia adalah korban dari media sosial di mana beberapa pihak juga menghina Palestina. Dan banyak penyebar ujaran kebencian berkeliaran di media sosial.
Meningkatkan literasi digital dan memberi pengetahuan yang bijak kepada anak-anak adalah tanggung jawab orangtua termasuk guru di sekolah. Jalannya masih panjang untuk dihancurkan saat ini. Jangan juga membuat trauma mendalam atas kejadian ini karena tak semua orang kuat menghadapi masalah dan terutama ia masih tergolong remaja dan kejiwaannya masih labil.
Alangkah baiknya, jika pihak sekolah dapat menimbang kembali keputusan itu. Sekaligus memberi arahan. Saya yakin bahwa masih ada 1001 jalan untuknya tanpa harus dikeluarkan. Dengan begitu, orang dewasa dapat memberikan contoh bagaimana cara menghadapi situasi dengan bijaksana. []
Anatasia Wahyudi, Staf Barisanco