BARISAN.CO – Upaya mengatasi krisis iklim dengan cara mempercepat transisi energi dapat dilakukan pemerintah Indonesia, dengan memanfaatkan tenaga surya. Dengan langkah ini, pemerintah berpeluang menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 339.624 tCO2 dan memperoleh keuntungan ekonomi dalam 25 tahun ke depan.
Hal itu terangkum dalam laporan ”Pemulihan Ekonomi Nasional dan Pencegahan Krisis Iklim” dari Koalisi Generasi Hijau yang terbit pada akhir April 2021. Laporan ini menyebut, pemerintah dapat mengubah pola pemanfaatan energi dan mampu menegaskan posisi politiknya sebagai patron dalam mempercepat transisi energi baru terbarukan (EBT).
Kajian laporan ini berfokus pada pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap 70 Gedung Kementerian/Lembaga. Kantor-kantor ini menjadi fokus kajian lantaran pemerintah perlu memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Secara umum, laporan tersebut juga menyoroti berbagai peluang pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim sekaligus meningkatkan nilai ekonomi. Selain pemasangan PLTS atap, disertakan pula keuntungan dari peremajaan perkebunan rakyat, pendirian korporasi petani, serta pengelolaan sampah yang baik dan benar.
Transisi energi sangat penting dilakukan. Pemerintah perlu melakukan lompatan besar dengan menegaskan keberpihakannya pada energi terbarukan. Maka, fokus pada target memperbesar pangsa energi terbarukan adalah hal yang utama.
Indonesia memasang target bauran eneri terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23%. Namun sejauh ini, pemanfaatan energi terbarukan masih belum optimal. Indonesia masih amat bergantung pada batu bara. Pada realisasi tahun 2020, porsi energi terbarukan dalam bauran energi masih sebesar 11,2%, kalah jauh dibanding gas bumi 19,16%, minyak bumi 31,60%, dan batu bara 38,04%.
Maka di sinilah pentingnya pemerintah menjadi role model dalam meningkatkan keharusan penggunaan jenis-jenis energi terbarukan. Dengan mengganti pemanfaatan listrik gedung kementerian/lembaga yang ada menjadi energi surya, itu sama artinya dengan memperkokoh kapasitas institusi pemerintah pusat di bidang pembangunan energi terbarukan.
Pemerintah menargetkan sampai 2035 ada penambahan PLTS dengan kapasitas 13.565 MW dengan harga di bawah 4 sen dollar AS per kilowat jam (kWH). Selain itu, pengembangan PLTS Atap secara masif tak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor bisnis dan industri. Target kapasitas terpasang untuk PLTS atap adalah 2.904 MW.
Di Indoensia, ESDM mencatat bahwa potensi tenaga sinar surya amat besar. Terdapat sekitar 207,8 Giga Watt yang perlu dioptimalkan. Hal itu didukung faktor geografis Indonesia yang terletak di garis ekuator sehingga sinar matahari cenderung konstan.
Namun jelas langkah menuju ke sana tidaklah mudah. Ia perlu perencanaan dan dana yang besar. Yang paling penting, setiap gerakan besar perlu dimulai dari langkah kecil yang penuh keteguhan. Dan pemerintah sebagai pemegang saham terbesar atas masa depan bangsa, dalam hal ini perlu memberi contoh konkret menuju transisi energi.
Menurut laporan Koalisi Generasi Hijau, disebutkan bahwa dana pemasangan PLTS Atap di 70 K/L membutuhkan Rp210 miliar. Alokasi tersebut tidak termasuk biaya operasional dan pemeliharaan PLTS Atap, yang diperkirakan sebesar 5% dari biaya investasi per tahun selama 25 tahun.
Biaya tersebut adalah total biaya pengadaan dan pemasangan masing-masing 200 kWp PLTS Atap di Gedung-gedung K/L, dengan total kapasitas terpasang 14 MWp. Diasumsikan biaya modal dan pemasangan sebesar Rp15 juta/kWp.
Alokasi jelas terbilang kecil jika dibandingkan dengan manfaat dari praktik baik pemakaian energi baru. Dengan tarif listrik untuk golongan tarif P1-TR sebesar Rp1.444,70 per kWh dan total biaya investasi sebesar Rp210 milyar, maka pemasangan PLTS Atap diperkirakan akan ‘menghemat’ biaya listrik di Gedung-gedung K/L sebesar Rp22 milyar per tahun.
Jika tanpa memperhitungkan biaya operasi, biaya investasi PLTS Atap di 70 K/L akan kembali dalam waktu sekitar dari 9,5 tahun.
Selain itu, pemodelan yang dilakukan Koalisi Generasi Hijau ini juga menunjukkan kemampuan program pemasangan PLTS Atap ini mencipta lapangan pekerjaan baru. Sekurang-kurangnya, diperkirakan ada 700 pekerja pada tahap konstruksi untuk pekerjaan pemasangan, logistik, dan pemeliharaan. Lapangan kerja untuk industri manufaktur produksi panel dan komponennya juga akan dapat dipertahankan.
Maka adalah penting bagi pemerintah mengalokasikan anggaran untuk percepatan energi terbarukan. Saat ini, pemerintah sedang menyusun dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2022 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022 yang akan menjadi landasan dalam perumusan kebijakan fiskal dalam APBN 2022.
Dengan kepercayaan penuh bahwa pemerintah punya komitmen tentang energi baru, tidak berlebihan untuk berharap bahwa stimulus terhadap rencana pemasangan PLTS atap di 70 K/L ini dimasukkan dalam KEM PPKF dan RKP tahun 2022 yang sedang disusun tersebut.
Tren pengembangan energi dunia—yang didorong isu krisis iklim—mengharuskan Indonesia untuk ikut andil meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Jika itu tidak segera dilakukan, betapa negara kita akan makin tertinggal dalam pembicaraan terkait masa depan dunia yang sedang terus berlangsung ini. []
Diskusi tentang post ini