MASTERLY INACTIVITY, istilah Charlotte Mason untuk merujuk seni mendampingi anak dalam proses belajar. Istilah ini pula, yang pelan-pelan mengusir kegalauan saya dalam menemani anak-anak belajar. Semula, ketika baru ada Ahimsa, saya masih berkeyakinan anak sebagai pusat belajar.
Saat itu saya benar-benar membebaskan sang sulung dari segala hal yang beraroma “jangan”. Saya menjadi bak malaikat yang steril dari ungkapan “Jangan begitu! Awas itu! atau Tidak boleh begini!”. Pokoknya, anak bebas mengerjakan apa saja. Sekalipun mengarah bahaya, ia memukul teman misalnya, saya tidak akan berteriak melarang. Cukup tersenyum seraya berkata, “Eh hati-hati! tangannya buat apa, Sayang?”
Ya, persis banget dengan anjuran master motivator, Mario Teguh, “Nak, kamu super sekali. Tanganmu super aktif, sehingga temanmu kini menangis. Tapi itu nggak apa-apa.”
Prinsipnya, saya tidak boleh merajut tali kekang untuk anak. Saya harus mengeloskan dia. Membiarkan lepas. Bebas tanpa pengawasan. Dan, lama saya memegang prinsip itu, hingga anak saya yang kedua berusia 2 tahun, sedang yang pertama 6 tahun.
Saya menjalani prinsip itu, tapi juga diam-diam meragukannya. Saya berpikir: “jangan-jangan saya melakukan ini karena balas dendam?” Antitesa dari perlakuan orangtua saya dulu yang begitu ketat mengatur masa kecil saya. Dulu, orangtua saya menetapkan peraturan untuk anak-anaknya sedemikian tertib. Termasuk pilihan sekolah mana yang harus ditempuh. Hingga partai politik apa yang mesti saya coblos.
Dari usia SD-SMP, saya manut. Namun tidak demikian ketika memasuki jenjang SMA. Saya tidak lagi menjadi anak penurut, yang akan selalu bilang “inggih, sendika dhawuh!”. Apalagi saat itu, saya berkenalan dengan Kahlil Gibran, penyair Libanon yang menyoal hakikat anak.
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan
Kau bisa berikan kasih sayangmu
Tapi tidak pikiranmu
Syair Gibran yang provokatif, dan itu saya pegang hingga jauh kemudian Rakai lahir. Meski orangtua saya saat itu juga tak kurang dalil, ketika saya menggugat pola asuhnya. Mereka berdalih, dengan merujuk sabda Nabi saw., “justru kami, orangtua, bertanggungjawab menentukan apakah kamu akan menjadi Islam, Nasrani, atau Majusi!”
Teringat dengan dalih orangtua, acap pula saya ragu untuk benar-benar mengumbar anak. Membiarkan mereka tanpa sedikit pun rambu dari kita, orangtua. Akhirnya, efek dari berjejaring di media sosial, facebook, saya menemu gagasan Charlotte Mason. Lebih jauh kemudian, Oktober 2016, saya memperoleh buku Cinta Yang Berpikir karya Ellen Kristi. Saya dapati istilah masterly inactivity. Belum 100% dong, memang, tapi lumayan mengurai kabut pilihan: anak dididik dalam panduan disiplin ketat atau sebaliknya dibebaskan los dol. Dan, Charlotte tegas: tidak dua-duanya!
Sekali lagi, meski saya masih tertatih-tatih, tapi prinsip pendampingan yang diurai Charlotte itu jauh lebih masuk akal ketimbang pola asuh yang bak dewa, bahwa orangtua tidak boleh menunjukkan rasa tidak setuju pada anak. Bahwa orangtua mesti mengiakan setiap dambaan anak, dan berkata semanis mungkin “silakan!”. Dan di kutub yang berseberangan, juga bukan macam orangtua yang bebas membentak, asal melarang, atau boros meluncurkan kata “jangan!”.
Bagaimana itu? Masterly inactivity. pola pendampingan yang manusiawi banget. Orangtua bak bermain layang-layang, menarik-ulur benang agar sang anak sanggup terbang melayang ke ketinggian menggapai kemuliaan. Orangtua seyogianya tak menyimpan perasaan cemas berlebihan pada anak, selagi mengimani prinsip “chiildren are born persons.” Orangtua membiarkan anak bermain berdasar inisiatifnya sendiri. Membiarkan anak berjam-jam melakukan apa yang diangankan terhadap batu, ranting, rerumputan, tanah, pohon, termasuk juga kepada rekan sepermainan, begitu seterusnya dan sebagainya.