Melawan oligarki: Gugatan praktik KKN yang menyuburkan oligarki, menjadi semacam respons puncak penyelenggaraan negara yang telah mengalami krisis multidimensi
Kehidupan dunia tak akan pernah lepas dari siklus sejarah. Peradaban manusia selalu diwarnai konflik antara yang hak dan batil. Dari masa primitif dan jaman jahiliyah hingga era modern, manusia senantiasa dalam pertarungan kebenaran melawan kejahatan. Tak hanya terjadi pada fase kegelapan, kebiadaban tetap bisa hadir dalam suasana pencerahan di tengah berlangsungnya doktrin agama sekalipun.
BARISAN.CO – Begitupun Indonesia yang menjadi irisan dari gejolak dan peperangan dunia. Realitas global yang menjadi episentrum kapitalisme. Membuat isi dunia baik negara maupun populasinya, berbondong-bondong mengejar materi. Memburu kenikmatan dunia, menghalalkan segala cara demi harta dan jabatan. Harus ada ordo superior dan imperior, menaklukkan kelas-kelas miskin dan marginal atau lumpen proletar. Berambisi memenuhi kepuasan yang tak akan pernah diraih sepanjang waktu hingga menemukan ajalnya.
Mengusung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, tak membuat bangsa ini serta merta menjadi negara kesejahteraan. Bukan hanya gagal mewujudkan kemakmuran dan keadilan. Kekuasaan justru menghadirkan banyak konflik dan tragedi kemanusiaan. Sifat-sifat manusia seakan telah memasuki substansi kebinatangan.
Perdamaian hanya bisa diwujudkan dengan peperangan. Orang dan komunitas yang kuat semakin ganas memangsa yang lemah. Unjuk kekuasaan penuh ambisi menaklukkan peradaban, mempertontonkan kekuasaan menindas yang lemah, membuat yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ketuhanan Yang Maha Esa semakin terabaikan, Keuangan terus leluasa dan menjadi idola.
KRL-KKN Mendorong “People Power”
Saat konsep politik yang memisah relasi negara dan agama mengalami kegagalan dan kebuntuan. Rakyat Indonesia yang sejatinya kaya spiritual dan kental mewarisi nilai-nilai religi. Kini kian terpuruk dan menuju titik nol bahkan minus dari ideal, menjurus kebangkrutan moral bangsa yang diikuti jatuhnya ekonomi, politik dan hukum secara nasional.
Terancam menjadi negara gagal, huru-hara terus mengintai dan kehidupan rakyat diambang kehancuran. Bahkan di negeri ini tak boleh ada sedikitpun dan terlihat ruang keberadaban.
Mencuatnya pelaporan Ubedilah Badrun terhadap Gibran Rakabuming Putra dan Kaesang Pangarep ke KPK atas dugaan keterlibatan KKN. Menjadi titik tolak dan triger menggugat problematika yang menjadi sumber masalah negara yang belum dituntaskan dari agenda reformasi. Setelah dua bulan lebih belum ditindaklanjuti KPK, isu KKN menjadi salah satu faktor penting adanya kegelisahan “silent mayority”.
Gugatan praktik-praktik KKN yang menyuburkan oligarki, menjadi semacam respons puncak atas distorsi penyelenggaraan negara yang telah mengalami krisis multidimensi. Karut marutnya pemerintahan yang berakibat pada kesengsaraan rakyat. Semakin menyiratkan kekuasaan oligarki yang begitu dominan dan hegemoni terhadap pemerintahan. Rezim benar-benar di bawah ketiak oligarki dan rakyat meniadi korban dari kesewenang-wenangan penyelenggaraan negara.
Produk UU KPK, omnibus law, IKN, JHT dan semua upaya penghianatan konstitusi termasuk usulan penundaan pemilu 2024 demi kepentingan oligarki. Ditambah dampaknya terhadap kelangkaan bahan pangan, korban penggusuran dan perampasan lahan untuk industri dan pertambangan, serta pelbagai penderitaan hidup rakyat akibat praktek-praktek KKN yang berlindung dalam oligarki.
Miris melihat ibu-ibu antri minyak goreng berdesak-desakan, terjatuh sakit hingga menyebabkan kematian. Kelangkaan dan mahalnya sembako serta kebutuhan rakyat lainnya, menegaskan betapa negara dalam keadaan bahaya dan perlu langkah-langkah penyelamatan dari semua anak bangsa. Meski rezim lebih sibuk mengangkat sekulerisasi dan liberalisasi baik negara maupun agama, sembari gemar melebur dalam ritual klenik kesesatan.