Publik berharap banyak pada RUU ini. Kasus Novia harusnya membuat DPR perlu bekerja keras agar RUU PKS dapat segera diketok palu dalam waktu tidak lama lagi. Tentu dengan catatan bahwa undang-undang yang lahir nantinya tidak melenceng dari semangat awal untuk menciptakan ruang-ruang sosial yang aman bagi perempuan.
Catatan di atas menjadi penting, sebab hari ini, publik mencium gelagat adanya niat DPR menyingkirkan poin-poin esensial yang sebelumnya tertulis dalam draf RUU PKS.
Dalam pembahasan terbaru, DPR misalnya hanya menyepakati lima jenis kekerasan seksual yang dapat dipidana, yaitu: pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan pidana lain.
Padahal, di dalam draft awal RUU ini masih ada jenis kekerasan lain, di antaranya: pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Selain terjadi penyempitan jumlah poin definisi, DPR juga cenderung menginginkan adanya perubahan paradigma RUU PKS, dari semula penanganan kekerasan menjadi sebatas pencegahan.
Terkait ini, tentu menjadi pertanyaan bagaimana RUU PKS nantinya dapat efektif melakukan pencegahan. Lebih-lebih, semangat awal RUU ini adalah mengusung perspektif korban.
Berkaca dari kasus terbaru, dibanding paradigma pencegahan, tentu saja paradigma penanganan kekerasan menjadi lebih masuk akal diterapkan agar institusi hukum kita dapat memberi perlindungan optimal, sehingga tidak ada lagi Novia-Novia yang lain. [dmr]