Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Menelisik Skema ‘Carbon Offset’ yang Mulai Banyak Dilirik Korporasi Besar

Redaksi
×

Menelisik Skema ‘Carbon Offset’ yang Mulai Banyak Dilirik Korporasi Besar

Sebarkan artikel ini

“Dari 100 korporasi besar di dunia ini, terutama yang bergerak di industri ekstraktif, bertanggung jawab terhadap hampir 70 persen dari emisi di tingkat global. Harusnya mereka turunkan emisi lebih besar dibanding negara berkembang. Kalau kita turunkan 30 persen, mereka tiga kali lipat dari itu,” kata Yuyun Harmono.

Alasannya, korporasi-korporasi di negara maju telah lebih dahulu merasakan industrialisasi dibanding negara berkembang. Mereka bahkan sudah menikmati pembangunannya. Secara kumulatif, pemakaian energi pada negara maju juga 3-4 kali lebih besar dibanding negara berkembang, sehingga sumbangan emisinya lebih banyak.

Banyak korporasi transnasional sebetulnya menyadari pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara adalah hal buruk. Namun, mereka tak mau menanggalkannya dalam aktivitas produksi lantaran faktor cuan.

Dalam pada itulah skema carbon offset memang terdengar menarik bagi korporasi yang mendamba status quo. Korporasi tinggal memberi pendanaan kepada komunitas atau masyarakat di negara berkembang atas aktivitasnya merawat hutan.

Menurut Yuyun Harmono, skema demikian itu tidak adil sebab hanya berujung pada tidak berubahnya watak bisnis korporasi besar menuju praktik-praktik yang benar dan ramah lingkungan.

“Korporasi yang melakukan carbon offset tetap mengeluarkan emisi dalam jumlah besar. Saya pikir di sana titik ketidakadilannya,” kata Yuyun Harmono.

“Menurut saya akan ada model kolonialisme baru kalau kita membiarkan hutan-hutan kita terjaga, tetapi kita berharap dibayar oleh negara maju. Harusnya kita mengatasi perubahan iklim bukan atas desakan negara maju, melainkan atas kesadaran kita menjaga supaya masyarakat terhindarkan dari bencana iklim,” lanjutnya.

Maka menurut Yuyun, cukup penting untuk meluruskan kembali asumsi dasar menjaga lingkungan. Jangan sampai terlena dengan carbon offset negara maju. Jika urusan etik itu sudah beres, barulah penting bagi negara untuk mendorong komitmennya terhadap praktik baik pengelolaan lingkungan.

“Komitmen harus ditunjukkan. Bukan berarti karena kita adalah negara berkembang terus kita bisa leha-leha tanpa berupaya secara maksimal. Harus sungguh-sungguh terhadap penurunan emisi berbagai macam sektor, baik itu sektor yang berbasis lahan, energi, transportasi, begitupun limbah,” pungkas Yuyun. []