Ternyata tiba-tiba dia kembali bertanya, “Kenapa keretanya berhenti?” Rupanya terdiam karena merasa kereta tidak bergerak. “Karena ada kereta lain yang mau lewat,” jawab saya.
“Kok kereta yang itu [yang lewat] jalannya ke sana [berlawanan arah]?” Saya jelaskan, “Kereta itu mau ke Jakarta. Kereta kita pergi dari Jakarta. Biar tidak bertabrakan, kereta kita berhenti dulu. Memberi jalan kereta yang itu”
Malam beranjak larut, Akram masih belum mau tidur. Seolah dia menunggu kereta lain yang akan berpapasan.
Kebetulan ada kereta lain yang lewat, ketika kereta kami berhenti, tetapi searah. Hal ini tidak luput dari perhatiannya dan ditanyakan. “Kok yang searah tidak bareng aja jalannya?” Saya duga dia membayangkan mobil atau motor yang berjalan agak berdampingan.
Saya jelaskan bahwa jalan kereta berupa rel cuma satu, bercabang menjadi beberapa rel hanya di sekitar stasiun dan beberapa tempat. Tentu saja ini kondisi perkeretapian tahun sekitar dua dekade lalu. Kereta searah yang melewati kami pun karena perbedaan kelas kereta kala itu, kami biasa naik kereta ekonomi atau bisnis saja.
Oleh karena Akram belum mau tidur dan masih terus bertanya, saya melanjutkan perbincangan. Memberi tahu jika kereta berlawanan arah disebut crashing, sedangkan yang searah disebut passing.
Rupanya, perbincangan menarik perhatian kakak-kakaknya yang semula asyik membaca. Mereka pun menjadi terus berbincang soal kereta. Akram yang masih penasaran dengan beberapa istilah baru terus bertanya pada kakaknya, yang menjelaskan dengan senang hati.
Suara Ira yang memang terbiasa berbicara nyaring membuat abahnya merasa kurang enak pada para penumpang yang kebanyakan sudah mulai tidur. Abahnya berupaya membujuk mereka berhenti berbincang. Namun bukan lah hal mudah ketika mereka sedang asyik berbincang tentang hal yang sedang menarik perhatian.
Apalagi Ira dan Adli sudah membaca buku tentang kereta api, sehingga mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Akram.
Meski terus mencoba membujuk agar mereka diam, kami tetap berpegang pada kaidah tidak boleh menunjukkan rasa tidak suka apalagi marah jika anak banyak bertanya. Untungnya, para penumpang lain tidak ada yang menegur kami, meski mungkin merasa tidak nyaman. Pengalaman ini membuat kami kemudian lebih suka memilih kereta dengan perjalanan di siang hari.
Aya anak ketiga kami cenderung lebih suka mengamati dan menanyakan tentang orang-orang yang dia lihat. Bahkan, tak jarang bertanya langsung ke orang tersebut. Saya tidak melarangnya, hanya membujuk atau mengalihkan perhatiannya ketika merasa orang tersebut tampak kurang nyaman.
Kesukaan Aya ini membuat saya dan suami menyepakati penyebutan atau panggilan umum atas orang-orang dengan pertimbangan agar anak-anak menghormati semua orang setara.
Sebagai contoh, kami memanggil kedua asisten rumah tangga dengan mbak. Kami tak pernah membicarakan mereka sebagai pembantu, selalu mengesankan pada anak-anak bahwa mereka bekerja sekaligus menjadi keluarga.
Kebetulan dengan bertoko, ada tiga orang lain yang juga bekerja untuk kami. Mereka dipanggil om, karena banyak tamu atau teman kami yang dipanggil om.
Begitu pula dengan para pedagang keliling disebut ibu sayur, ibu buah, ibu susu, bapak minyak, bapak bakso dan lain-lain sesuai dagangannya. Alasannya juga karena banyak tetangga dan kenalan yang dipanggil bapak atau ibu. Semua orang kami upayakan sederajat di mata anak-anak. [dmr]