Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Mengenal “Sindrom Wanita Babak Belur” yang Dialami Korban KDRT

Redaksi
×

Mengenal “Sindrom Wanita Babak Belur” yang Dialami Korban KDRT

Sebarkan artikel ini

Saat seseorang terjebak dalam siklus pelecehan, sindrom wanita babak belur berkembang. Sindrom ini membuat mereka sulit mendapatkan kendali atas hidupnya.

BARISAN.CO – Setiap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus ditanggapi dengan serius dan setiap individu diberi akses ke dukungan yang mereka butuhkan. Semua korban harus dapat mengakses dukungan yang sesuai.

Sementara laki-laki dan perempuan mungkin mengalami insiden kekerasan dan pelecehan antarpribadi, perempuan jauh lebih mungkin mengalami bentuk pelecehan yang berulang dan parah, termasuk kekerasan seksual. Mereka juga lebih mungkin mengalami penganiayaan fisik, psikologis atau emosional yang berkelanjutan, atau kekerasan yang mengakibatkan cedera atau kematian.

Ada perbedaan penting antara kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan kekerasan perempuan terhadap laki-laki, yaitu jumlah, tingkat keparahan dan dampaknya. Wanita mengalami tingkat viktimisasi berulang yang lebih tinggi dan jauh lebih mungkin terluka parah atau dibunuh daripada korban laki-laki kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, wanita lebih cenderung mengalami tingkat ketakutan yang lebih tinggi dan lebih cenderung mengalami perilaku pemaksaan dan pengendalian.

Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan berakar pada ketidaksetaraan status perempuan dalam masyarakat dan merupakan bagian dari masalah sosial yang lebih luas dari kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan anak perempuan. Dalam sebuah studi dari University of Bristol ditemukan, seksisme dan misogini menjadi latar bagi perilaku pemaksaan dan pengendalian pasangan laki-laki yang kasar.

Sementara itu, dilansir dari Healthline, sindrom wanita babak belur, juga dikenal sebagai sindrom orang babak belur, dapat menjadi produk dari kekerasan dalam rumah tangga jangka panjang. Sindrom wanita babak belur dianggap sebagai subkategori gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Orang yang hidup dengan sindrom wanita babak belur mungkin merasa tidak berdaya. Hal ini dapat menyebabkan mereka salah percaya bahwa mereka pantas mendapatkan pelecehan dan bahwa mereka tidak dapat menghindarinya. Dalam banyak kasus, inilah mengapa orang tidak melaporkan pelecehan mereka ke polisi atau orang yang mereka cintai.

Sebelum mencapainya, seseorang mengalami tahapan sebagai berikut:

  1. Penolakan. Orang itu tidak menerima mereka dilecehkan atau membenarkannya, dengan catatan cukup sekali saja.
  2. Kesalahan. Orang tersebut meyakini mereka penyebabnya.
  3. Pencerahan. Pada fase ini, orang tersebut menyadari mereka tidak pantas pendapatkan pelecehan dan mengakui pasangannya memiliki kepribadian kasar.
  4. Tanggung jawab. Korban menerima pelaku yang seharusnya bertanggung jawab atas tindakan itu. Dalam banyak kasus, mereka memilih meninggalkannya.

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya mengikuti siklus tertentu. Pertama, pelaku akan bergerak dengan taktik bom cinta, sikap romantis, dan menekankan komitmen sejak dini. Selanjutnya, pelaku melakukan kekerasan emosional atau fisik. Sering kali dimulai dari hal kecil, seperti memberi tamparan atau meninju tembok di sebelah pasangannya.

Kemudian, pelaku merasa bersalah, bersumpah tidak akan melakukannya lagi, dan bersikap sangat romantis untuk memenangkan hati pasangannya.

Keempat, ada periode bulan madu sementara, di mana pelaku memikat pasangannya untuk berpikir, mereka aman dan segalanya akan benar-benar berubah. Lalu, barulah, kekerasan akan terjadi lagi.

Ada berbagai alasans seseorang terjebak dalam hubungan kasar, misalnya bergantung secara finansial, khawatir dengan masa depan anak-anak, tidak yakin pasangannya kasar, dan lain-lain.

Sayangnya, saat seseorang terjebak dalam siklus pelecehan, sindrom wanita babak belur berkembang. Sindrom ini membuat mereka sulit mendapatkan kendali atas hidupnya.

Tanda Sindrom Wanita Babak Belur

Jika mengkhawatirkan orang terdekat mengalaminya, perhatikan beberapa tanda berikut:

  1. Menarik diri dan membuat alasan untuk tidak bertemu teman atau keluarga atau aktivitas yang pernah mereka lakukan (ini bisa jadi sesuatu yang dikendalikan pelaku)
  2. Tampak cemas atau takut saat didekat pasangannya
  3. Sering memar atau cedera dan mereka sulit menjelaskan penyebabnya atau bahkan berbohong
  4. Memiliki akses keuangan yang terbatas
  5. Mengalami perubahan kepribadian yang ekstrem
  6. Pasangan mudah cemburu, marah, atau sangat posesif
  7. Selalu mengenakan pakaian panjang, bahkan saat musim panas sekali pun untuk menyembunyikan memarnya

Jika mencurigai seseorang berada dalam sindrom ini, penting untuk menahan penilaian seketika. Meski, pelakunya salah, banyak orang mungkin mempertanyakan alasan korban tetap tinggal.