PRT adalah pekerja rentan yang amat memerlukan perlindungan negara.
BARISAN.CO – Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum kunjung disahkan sejak disodorkan ke DPR pada tahun 2004 silam.
Tidak pernah terdengar alasan kuat mengapa RUU ini terus ditunda. DPR periode lalu maupun periode sekarang sama-sama tampak cenderung ogah-ogahan.
Puan Maharani, Ketua DPR RI, berdalih penyusunan RUU tak perlu buru-buru. Kata dia, legislatif masih perlu berkomunikasi dan mendengarkan aspirasi masyarakat.
“Agar undang-undang ini nantinya berkualitas,” kata Puan dalam sebuah kesempatan, Kamis (19/1/2023) lalu.
“Dalam setiap RUU, kami selalu membuka ruang masukan dari elemen-elemen yang ada di luar publik. Kemudian kita akan mencerna mendiskusikan dan melihat bagaimana hal itu harus dibahas seperti apa,” lanjutnya.
Pernyataan Puan tentu saja terdengar janggal. Sudah banyak kasus yang menimpa para PRT. Akhir tahun lalu, Komnas HAM mencatat setidaknya ada 2637 kasus kekerasan terjadi terhadap PRT.
Bentuk kekerasan antara lain kekerasan ekonomi (tidak digaji, hak dipotong agen semena-mena), kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. Umumnya, lantaran tak ada perlindungan hukum yang memadai, PRT pasti dan pasti menjadi pihak yang dirugikan.
Selama ini, memang ada UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Regulasi ini menyediakan norma untuk menjerat pelaku kekerasan fisik, psikis, dan seksual terhadap PRT.
Namun, tidak ada regulasi yang melindungi PRT dari situasi kerja yang tidak manusiawi, pekerjaan penuh tekanan, gaji tidak dibayar, tidak diberi makan padahal PRT menetap atau ditempatkan di tempat tinggal lain oleh pelaku, dan lainnya.
Profil PRT di Indonesia
Pekerja domestik berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini kurang tecermin dalam kondisi umum PRT di Indonesia.
Sekurang-kurangnya, mengutip Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), ada tiga kondisi umum di mana PRT di Indonesia masih bekerja secara tidak layak sampai hari ini.
Pertama, PRT yang tinggal di rumah pemberi kerja mayoritas bekerja selama 16 jam/per hari—bahkan bisa lebih. Padahal menurut Organisasi Buruh Internasional, PRT berhak mendapat jam kerja sesuai ketentuan, lembur, jam istirahat, serta cuti.
Kedua, upah rata-rata PRT hanya sebesar 20-30%. Dalam banyak kasus, bahkan PRT tidak digaji dan hanya diberi makan. Itupun masih disertai ancaman psikis di mana pemberi kerja tidak mengizinkan PRT berhenti bekerja walaupun sudah merasa tidak betah.
Ketiga, lantaran bekerja di ruang privat, PRT rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Masih sering ditemukan kasus di mana PRT dituduh melakukan kesalahan dan berujung penganiayaan oleh pemberi kerja.
Tiga garis besar ini tentu saja belum mengakomodir isu-isu penting lain seperti absennya jaminan keselamatan dan kesehatan, penipuan, pelanggaran hak-hak dasar, dan lain sebagainya.
Yang mereka butuhkan sekarang adalah perlindungan, dan oleh sebab itu RUU PPRT menjadi penting. RUU ini adalah pertanda bahwa negara berpihak kepada kelompok miskin, marginal, dan rentan. [dmr]