“Silakan,” jawab sang Guru Besar.
“Kalau materi agama yang diajarkan seperti ini, kami tak perlu masuk UI. Anak-anak SMP saja sudah tahu Rukun Iman, Rukun Islam dan …” Radhar membombardir tanpa jeda dan tanpa tedeng aling-aling.
Wajah Guru Besar memerah dilanjutkan dengan suaranya yang mengguntur murka. Saya yakin bukan hanya saya, melainkan sebagian besar mahasiswa baru yang ikut kelas itu, untuk pertama kalinya mendengarkan debat sengit dari seorang Guru Besar di depan kelas dengan seorang mahasiswa baru di belakang kelas, dengan vokal keduanya mengguntur. Kejadian itu berakhir dengan perintah sang Guru Besar yang tak boleh dibantah. “Keluar, kamu!”
Radhar menjawab tenang, “Baik, saya keluar!” katanya mengemas buku, memasukkan ke ransel, dan meninggalkan kelas.
Tapi Radhar juga bukan tipe selalu serius. Dia trampil bergurau. Satu kali di kampus, ketika kami mengerjakan tugas kelompok, dia berkelakar. “Kalau kalian ada yang nelpon ke rumah gue, jangan cuma bilang mau bicara dengan Radhar, karena semua anak orang tua gue itu namanya pakai Radhar, gabungan nama ayah dan ibu. Kalian harus menyebut nama lengkap gue atau paling nggak Radhar Panca,” katanya menyeringai.
Pada berbagai mata kuliah lain, Radhar langsung menghilang usai kuliah. Satu kali saya pernah tanya mengapa dia tak nongkrong dulu dan bersosialisasi dengan teman-teman lain. Dia bilang, “Saya inginnya begitu, tapi saya tak bisa, Mal. Saya punya tanggung jawab besar untuk membiayai anggota teater yang ikut dengan saya. Hampir semuanya lebih tua dari saya dan sudah berkeluarga. Mereka mengabdikan diri pada teater, percaya pada saya. Jadi saya harus ikut membantu kebutuhan rumah tangga mereka setiap bulan,” katanya seraya menyebutkan sekian jumlah karung beras, kebutuhan lauk pauk dan kebutuhan finansial lainnya agar aktivitas teater mereka berjalan lancar. “Itu harus saya pikirkan setiap bulan,” katanya.
Saat itu saya sudah tahu lebih banyak tentang sosok cemerlang yang sedang menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta di awal usia 20-an, dan sudah mematok rekor sebagai cerpenis termuda di Kompas karena cerpennya “Tamu Tak Diundang” yang dimuat saat dia berusia 10 tahun!
Saat itu selain kuliah, kesibukan Radhar di kampus adalah membuat majalah bersama kawan-kawan lain di FISIP. Saya tak ikut karena saat itu saya agak minder melihat anggota tim majalah yang hebat-hebat. Tetapi saya sangat ingin selalu menimba ilmu dari Radhar. Bagaimana caranya?
Jalan keluarnya adalah kami bertemu malam hari, biasanya saat lesehen di perempatan Melawai di belakang dinding kafe musik Jamz. Dalam sepekan bisa dua kali bertemu. Radhar mengajak saya bergabung dengan belasan kawannya dan mendengarkan uraiannya tentang berbagai hal. Tak semuanya saya pahami apa yang dia katakan—di otak Radhar seperti ada ensiklopedi yang bisa dikutipnya kapan saja dia mau–tetapi selalu membuat semangat saya membara. Oleh Radhar saya diajak mendalami dunia Gramsci sampai Carvakas, dari Epicurus sampai Amir Hamzah. (Selain tentu saja saya mulai mengoleksi buku-buku Radhar, baik puisi atau kumpulan esei).
Lalu pada satu kesempatan, masih dalam rangkaian lesehan di Melawai yang saya lupa kapan persisnya, Radhar mengucapkan kalimat yang masih bergaung jelas di telinga saya sampai sekarang—saat menulis obituari ini—sejelas saat dia mengatakannya. “Kita bisa punya profesi tentu, menjadi profesional yang sangat mahir di bidang tertentu, tetapi jangan sampai profesi menjadi penjara bagi kehidupan kita. Orang-orang seperti itu adalah mereka yang sudah mati bahkan sebelum ajal menjemput mereka. Jangan lupa bahwa tugas utama kita adalah selalu memanusiakan manusia, baik diri sendiri atau orang lain karena kita gampang terlena kenyamanan yang ditawarkan dunia. Tugas kita bukan untuk hidup nyaman melainkan memastikan masyarakat kita memiliki hati nurani, beradab, punya kepekaan pada estetika sastra, dan pantang menyerah dalam memperjuangkan keadilan dan peradaban yang sehat. Hidup kita sebagai manusia harus lebih dari sekadarnya.”