Saat rehat, Radhar menunjuk piano di sudut ruangan. “Ada yang bisa main piano lagunya Phil Collins Against All Odds?”
Seorang kawan menjawab bisa dan memainkan intro lagu. Radhar berdiri dengan lengan kanan bertelekan piano dan suara baritonnya berpendar di seluruh ruangan. “ How can I just let you walk away?/Just let you leave without a trace/When I stand here taking every breath, with you, ooh/You’re the only one who really knew me at all/ …”. Syair lagu disantapnya dengan mulus sampai usai dan kami mengganjarnya dengan aplaus meriah.
(Sekiranya saat itu sudah ada gawai cerdas, rekaman video Radhar menyanyikan lagu melankolis ini dengan penuh penghayatan, bisa menjadi konten yang sangat viral. Tetapi kejadian ini di tahun 1986).
Sebagai mahasiswa baru, ada sejumlah mata kuliah wajib yang harus diambil terlepas dari jurusan yang ditekuni. Salah satunya Pengantar Agama Islam yang harus diikuti semua mahasiswa FISIP yang beragama Islam. Dosen utama seorang guru besar ternama. Pada kuliah pertama, beliau menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran Islam dalam bentuk matriks yang menggambarkan Rukun Islam dan Rukun Iman. Kelas sunyi senyap. Tiba-tiba terdengar interupsi dari kiri belakang. Suara seorang mahasiswa yang lantang dan terdengar jelas oleh siapa pun yang ada di dalam ruangan. “Boleh berkomentar, Prof?” tanya sang mahasiswa, yang tak lain adalah Radhar. Dia berdiri, tidak lagi duduk.
“Silakan,” jawab sang Guru Besar.
“Kalau materi agama yang diajarkan seperti ini, kami tak perlu masuk UI. Anak-anak SMP saja sudah tahu Rukun Iman, Rukun Islam dan …” Radhar membombardir tanpa jeda dan tanpa tedeng aling-aling.
Wajah Guru Besar memerah dilanjutkan dengan suaranya yang mengguntur murka. Saya yakin bukan hanya saya, melainkan sebagian besar mahasiswa baru yang ikut kelas itu, untuk pertama kalinya mendengarkan debat sengit dari seorang Guru Besar di depan kelas dengan seorang mahasiswa baru di belakang kelas, dengan vokal keduanya mengguntur. Kejadian itu berakhir dengan perintah sang Guru Besar yang tak boleh dibantah. “Keluar, kamu!”
Radhar menjawab tenang, “Baik, saya keluar!” katanya mengemas buku, memasukkan ke ransel, dan meninggalkan kelas.
Tapi Radhar juga bukan tipe selalu serius. Dia trampil bergurau. Satu kali di kampus, ketika kami mengerjakan tugas kelompok, dia berkelakar. “Kalau kalian ada yang nelpon ke rumah gue, jangan cuma bilang mau bicara dengan Radhar, karena semua anak orang tua gue itu namanya pakai Radhar, gabungan nama ayah dan ibu. Kalian harus menyebut nama lengkap gue atau paling nggak Radhar Panca,” katanya menyeringai.