BARISAN.CO – Salah satu indikator risiko utang yang dianggap penting dalam analisis kesinambungan atau keberlanjutan fiskal adalah apa yang disebut dengan Kesimbangan Primer.
Arti penting itu membuatnya tercantum sebagai salah satu dari lima bagian postur APBN yang disajikan kepada publik. Postur APBN lainnya terdiri dari: Pendapatan, Belanja, Defisit/Surplus, dan Pembiayaan.
Meski penting, publik tampaknya kurang mengenali istilah Keseimbangan Primer dibandingkan dengan postur lainnya. Istilah ini baru banyak dibicarakan di ruang publik pada tahun 2018 dan tahun 2019, ketika topik utang pemerintah sedang mengemuka.
Secara definisi, Keseimbangan Primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Jika total pendapatan negara sama dengan belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka Keseimbangan Primer bernilai nol. Dalam posisi ini, seluruh bunga utang masih dapat dibayar dengan dana yang diperoleh dari pendapatan. Tentu saja, APBN masih berpostur defisit jika pembayaran bunga ikut diperhitungkan.
Jika total pendapatan negara lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang, maka Keseimbangan Primer bernilai positif. Jika tidak ada kewajiban membayar bunga utang, maka APBN akan mengalami kondisi “surplus”. Makin besar nilai positif dari Keseimbangan Primer, bisa dikatakan makin baik atau makin sehat APBN tahun bersangkutan. Sayangnya, pada tahun-tahun ketika bernilai positif pun belum cukup besar untuk membuat APBN menjadi surplus. Ketika belanja memasukkan pembayaran bunga, APBN masih defisit.
Sebaliknya, jika total pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang, maka Keseimbangan Primerbernilai negatif atau minus. Dana dari pendapatan tidak mencukupi untuk membayar bunga utang, setelah dihitung belanja jenis lainnya. Dalam hal ini, sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.
Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2011, Keseimbangan Primer selalu bernilai positif. Nilainya berfluktuatif. Nilai Keseimbangan Primer positif terbesar terjadi pada tahun 2008. Realisasi APBN tahun 2008 secara keseluruhan tetap defisit, namun dengan nominal terendah selama belasan tahun terakhir.
Sejak tahun 2012 hingga 2018, Keseimbangan Primer selalu negatif. Nilai negatifnya sempat terus meningkat pada tahun 2013-2015, kemudian stabil pada tahun 2016 dan 2017. Pada tahun 2018 sempat turun drastis, karena pendapatan tumbuh cukup tinggi.
Realisasi nilai Keseimbangan Primer hanya minus Rp11,4 triliun pada tahun 2018, jauh lebih baik dari tahun 2017 yang sebesar Rp124,41 triliun. Perbaikan lebih signifikan lagi jika dilihat dari rasionya atas PDB, karena nilai PDB nominal yang mengalami peningkatan.
Optimisme Pemerintah pun meningkat ketika menyusun APBN 2019. APBN 2019 ditetapkan agar Keseimbangan Primer mendekati nol rupiah, yaitu hanya minus Rp20,1 triliun. Bahkan, dikedepankan menjadi argumen klaim sebagai APBN yang sehat pada saat itu. Realisasinya ternyata kembali meningkat menjadi minus Rp77,5 triliun.
Pemerintah masih bersikeras keseimbangan primer dapat ditekan kembali dalam APBN 2020. Targetnya hanya minus Rp12 triliun. Artinya, dari pembayaran bunga utang yang direncanakan sebesar Rp295,21 triliun, hanya senilai itu yang dibayar pakai utang baru.
Pandemi Covid-19 memaksa postur APBN berubah drastis. Pendapatan merosot, dan butuh berutang lebih banyak. Sebagian utang baru telah berbiaya bunga pada tahun 2020. Baik dalam konteks yield ketika SBN diterbitkan, maupun pembayaran bunga selanjutnya. Ada seri yang bunganya dibayar tiap 3 atau 6 bulan. Bahkan, pembayaran bunga SBN ritel dilakukan tiap bulan.
Pembayaran bunga utang sempat direncanakan mencapai Rp335 triliun pada 2020 dalam Perpres 72. Oleh karena Pendapatan juga ditargetkan merosot tajam, maka nilai minus dari Keseimbangan Primer diprakirakan mencapai Rp700,4 triliun.
Realisasi sementara APBN 2020 memang tidak seburuk perhitungan menurut Perpres 72. Pembayaran bunga utang hanya sebesar Rp314,1 triliun, dan Keseimbangan Primer bernilai minus Rp642,2 triliun. Bagaimanapun, nilai ini merupakan yang terburuk dalam sejarah APBN. Bahkan, jika dilihat secara rasio atas PDB yang mencapai 4,09%.
Grafik Keseimbangan Primer, 2004-2021
Sumber data: Kemenkeu; 2020: Realilsasi sementara; 2021: APBN.
Kajian ilmiah tentang utang menjelaskan bahwa kondisi keseimbangan primer anggaran pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, amat menentukan kesinambungan fiskalnya. Dikatakan kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru.
Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga musti bertambah.
Hal ini tentu disadari oleh Pemerintah. Terbukti dari target APBN beserta narasi argumennya dalam Nota Keuangan sebelum pandemi covid-19 yang menargetkan keseimbangan primer menjadi surplus, setidak hanya sedikit defisit atau nilai negatif yang kecil.
Dalam narasi RPJMN 2020-2024 dikatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan APBN yang sehat, seraya tetap memberikan stimulus terhadap perekonomian. Salah satunya ialah mengarahkan keseimbangan primer menuju positif dengan rata-rata 0,1%-0,3% dari PDB selama periode lima tahun ke depan.
Pandemi covid-19 yang berdampak sangat besar pada kemampuan fiskal pemerintah tidak hanya terjadi pada APBN 2020. Dampaknya masih menjadi tantangan dalam pengelolaan APBN beberapa tahun ke depan.
Dalam hal Keseimbangan Primer, APBN 2021 telah menyebutkannya sebagai salah satu upaya menjaga pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan, dengan mendorong keseimbangan primer menuju level positif. Akan tetapi pernyataan normatif ini belum diikuti oleh besaran yang memadai. Pemerintah hanya berani menargetkan sedikit perbaikan pada Keseimbangan Primer, yang ditargetkan minus sebesar Rp633,1 triliun. []
Kontributor: Awalil Rizky
Diskusi tentang post ini