Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Empat]

Redaksi
×

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Empat]

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COPosisi utang pemerintah dapat digambarkan dalam beberapa aspek atau komponen. Dilihat dari bentuknya, ada yang berupa pinjaman (loan) dan ada yang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Dari denominasi atau jenis mata uangnya, berupa rupiah dan berupa mata uang asing (valuta asing). Sedangkan dari asal sumber atau pihak krediturnya, dapat dikelompokkan sebagai utang luar negeri dan utang dalam negeri.

Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Pinjaman luar negeri dikelompokkan menjadi Pinjaman Bilateral, Pinjaman Multilateral, Pinjaman komersial, dan kredit suppliers. Denominasi pinjaman luar negeri berupa berbagai mata uang asing, dengan porsi dolar Amerika yang hampir 90%.

Sedangkan pinjaman dalam negeri pada umumnya berdenominasi rupiah. Kreditur atau pemberi utangnya yang utama adalah Bank BUMN, seperti BRI, Mandiri, dan BNI.

SBN merupakan surat utang atau utang Pemerintah pada pihak yang memegang atau memilikinya. Secara teknis, syarat dan ketentuan SBN ditentukan oleh Pemerintah sendiri. Namun syarat dan ketentuan yang ditetapkan amat berpengaruh pada serapan pasar.

SBN terdiri dari berbagai seri yang memiliki waktu jatuh tempo pada tanggal tertentu, sehingga pelunasannya tidak bersifat cicilan. Dalam beberapa kasus, bisa dipercepat pelunasannya (buyback), yang dibiayai dengan penerbitan SBN baru. Sedangkan untuk pinjaman biasanya dibayar berupa cicilan sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa kasus, pinjaman dapat dinegosiasikan cara dan waktu pembayarannya.

Utang dalam bentuk SBN memiliki porsi lebih besar dibandingkan yang dalam bentuk pinjaman. Pada akhir 2019 porsinya mencapai 84% dengan nilai sebesar Rp4.014,8 triliun. Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman hanya 16% atau sebesar Rp771,8 triliun.

Porsi utang dalam bentuk SBN meningkat lebih cepat hingga akhir tahun 2020, mencapai 85,96% atau sebesar Rp5.221,7 triliun. Nilai pinjaman sebenarnya juga meningkat menjadi Rp852,9 triliun, namun porsinya turun menjadi 14,04%.

Berdasar denominasi mata uang, porsi utang pemerintah dalam Rupiah lebih besar dibanding dalam valuta asing (valas). Utang dalam bentuk valas terdiri dari banyak mata uang namun hal tersebut bukan berarti berutang paling banyak pada negara dengan mata uang tersebut. Sebagian negara, organisasi internasional atau pihak asing lainnya memilih mata dolar Amerika sebagai denominasi. Sehingga porsinya menjadi yang terbesar.

Pada akhir tahun 2019, porsi denominasi rupiah mencapai 62,08% dan denominasi valas sebesar 37,98% dari total utang. Porsi denominasi rupiah pada akhir Desember meningkat menjadi 66,47%, seiring dengan peningkatan posisinya yang lebih cepat dari denominasi valas. Porsi SBN valas turun menjadi 33,53%.

Hanya saja perlu diingat bahwa utang berdenominasi rupiah tidak selalu berarti krediturnya adalah pihak domestik atau penduduk (residen). Bisa saja berasal dari kreditor asing namun pemberian pinjamannya dalam bentuk rupiah. Perlu diketahui bahwa SBN yang dibeli oleh pihak asing dicatat sebagai utang kepada nonresiden. Begitu juga utang dalam bentuk valas bukan berarti seluruhnya kepada pihak asing. Sebagian dari SBN valas, meski masih berporsi kecil, dimiliki oleh penduduk.

Pada pengelompokan asal kreditur, utang kepada residen berarti utang kepada penduduk, perusahaan atau lembaga Indonesia. Sedangkan kepada nonresiden adalah kepada pihak asing, yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang luar negeri Pemerintah. Tidak dipersoalkan apa pun jenis denominasinya.

Pada posisi akhir tahun 2019, porsi utang kepada residen sebesar 41,86% dan kepada nonresiden sebesar 58,14%. Artinya porsi utang kepada pihak asing tercatat lebih besar. Selama tahun 2020, keadaan menjadi berbalik, porsi kepada residen meningkat menjadi 52,16% pada akhir Desember 2020.