Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Menjadi Manusia Rohani: Tansah Eling Lan Waspada

Redaksi
×

Menjadi Manusia Rohani: Tansah Eling Lan Waspada

Sebarkan artikel ini

Sadar akan kehadiran Tuhan dalam setiap detik kehidupan, niscaya akhlak atau budi pekerti luhur itu bukan lagi angan, melainkan kenyataan. Namun, rasa kehadiran Tuhan itu tidak terjadi begitu saja, mesti dilatih. Dan tasawuflah jawabannya.

Adalah pula, Menjadi Manusia Rohani merupakan juklak dan juknis untuk ke sana: menempuh hidup di jalan tasawuf. Gus Ulil telah meracik kedalaman makna kitab al-Hikam, dalam menu hidangan yang gampang dipahami. Gampang dihayati, dan insyaallah tak sulit dipraktikkan.

Apalagi memang, Gus Ulil dalam mensyarah selalu mengaitkan dengan persoalan-persoalan yang sering kita alami. Berkoneksi dengan derita dan gembira yang acap kali kita hadapi.

Sehingga tasawuf serasa bukan hanya milik para penempuh jalan iman dan ibadah, melainkan milik kita semua. Kita bisa menjalaninya. Dan kemungkinan akan merasakan nikmat tiada bertara saat menghayati persoalan yang telah terdekonstruksi (oleh tasawuf).

Di sini saya nukilkan contoh aforisme Syekh Ibnu ‘Athaillah, yakni yang ke-8: “Jika Allah membukakan pintu makrifat (melalui penderitaan) bagimu, jangan bersedih mengapa itu terjadi sementara amalmu amat sedikit.  Allah membukakannya bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti bahwa makrifat itu adalah anugerah-Nya kepadamu, sedangkan amal adalah pemberianmu? Maka betapa besar perbedaan antara persembahanmu kepada Allah dan karunia-Nya kepadamu!”

Dalam pengertian awam, Gus Ulil mengajak kita untuk merenung, bahwa “hal yang tak terhindarkan dalam hidup manusia adalah penderitaan fisik, baik berupa penyakit, kemiskinan, atau penderitaan-penderitaan lain yang membuat kita tidak nyaman.” (hal. 49).

Menurut Ibnu ‘Athaillah, terang Gus Ulil selanjutnya, “cobaan dan penderitaan dalam hidup adalah cara Tuhan ingin memperkenalkan diri-Nya kepada kita.”

Derita adalah uluran tangan Tuhan untuk berkenalan. Sebab dengan penderitaan, kita makin matang secara kejiwaan. Dan itu artinya kita tambah dekat kepada Tuhan. Makin intens menjalin hubungan. Juga kian intim saat mengadu kepada-Nya.

Dalam pengertian khusus, Gus Ulil menambahkan bahwa saat menderita (sakit misalnya), Tuhanlah yang pro aktif mendekati kita. Berbeda ketika beribadah mahdhah (seperti salat atau puasa), kitalah “yang pro-aktif pe-de-ka-te terhadap Tuhan.” (hal. 51).

Sehingga saking intimnya kita, akan persis seperti yang digambarkan surah Al-Baqarah ayat 115, yang kita lihat hanya Tuhan. “Ke mana pun kita berpaling, di situlah rupa Tuhan”. Kita sanggup melihat Tuhan di dalam, pada, sebelum, dan sesudah segala sesuatu. Itulah yang, oleh Gus Ulil, disebut manusia rohani. Orang yang tahu hakikat segala sesuatu. Orang yang merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang tahu Tuhan hadir dalam diri orang yang sakit, lapar, dan haus. Dan seterusnya, dan sebagainya.