Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Menjadi Manusia Rohani: Tansah Eling Lan Waspada

Redaksi
×

Menjadi Manusia Rohani: Tansah Eling Lan Waspada

Sebarkan artikel ini

Di sini saya nukilkan contoh aforisme Syekh Ibnu ‘Athaillah, yakni yang ke-8: “Jika Allah membukakan pintu makrifat (melalui penderitaan) bagimu, jangan bersedih mengapa itu terjadi sementara amalmu amat sedikit.  Allah membukakannya bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti bahwa makrifat itu adalah anugerah-Nya kepadamu, sedangkan amal adalah pemberianmu? Maka betapa besar perbedaan antara persembahanmu kepada Allah dan karunia-Nya kepadamu!”

Dalam pengertian awam, Gus Ulil mengajak kita untuk merenung, bahwa “hal yang tak terhindarkan dalam hidup manusia adalah penderitaan fisik, baik berupa penyakit, kemiskinan, atau penderitaan-penderitaan lain yang membuat kita tidak nyaman.” (hal. 49).

Menurut Ibnu ‘Athaillah, terang Gus Ulil selanjutnya, “cobaan dan penderitaan dalam hidup adalah cara Tuhan ingin memperkenalkan diri-Nya kepada kita.”

Derita adalah uluran tangan Tuhan untuk berkenalan. Sebab dengan penderitaan, kita makin matang secara kejiwaan. Dan itu artinya kita tambah dekat kepada Tuhan. Makin intens menjalin hubungan. Juga kian intim saat mengadu kepada-Nya.

Dalam pengertian khusus, Gus Ulil menambahkan bahwa saat menderita (sakit misalnya), Tuhanlah yang pro aktif mendekati kita. Berbeda ketika beribadah mahdhah (seperti salat atau puasa), kitalah “yang pro-aktif pe-de-ka-te terhadap Tuhan.” (hal. 51).

Sehingga saking intimnya kita, akan persis seperti yang digambarkan surah Al-Baqarah ayat 115, yang kita lihat hanya Tuhan. “Ke mana pun kita berpaling, di situlah rupa Tuhan”. Kita sanggup melihat Tuhan di dalam, pada, sebelum, dan sesudah segala sesuatu. Itulah yang, oleh Gus Ulil, disebut manusia rohani. Orang yang tahu hakikat segala sesuatu. Orang yang merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang tahu Tuhan hadir dalam diri orang yang sakit, lapar, dan haus. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Syahdan, manusia rohani tidak akan berkehendak selain kehendak Tuhan. Ia mengerti hukum alam sebagai pernyataan Tuhan. Juga tata kelola sosial sebagai tajalli roh Allah. Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam aforisme ke-28. “Tiada suatu napas berembus darimu, kecuali di situ takdir Tuhan berlaku padamu.”

Oleh karenanya, seorang esoteris akan berhitung betul bahwa setiap embusan napas adalah “batu-batu yang menyusun kehidupannya di masa depan.” (hal.170). Dengan demikian, ia akan menempuh hidup dengan sangat berhati-hati. Ia menghindari kerusakan.

“Sebab, dalam setiap embusan napas yang hanya berlangsung seper sekian detik itu, sebetulnya sedang berlangsung suatu takdir. Saat kita bernapas, sesuatu yang sangat bermakna dan penting telah terjadi.” (hal. 170). Maka, akan menghindar dan menuju Tuhan yang mana kita?