Scroll untuk baca artikel
Blog

Merah Putih

Redaksi
×

Merah Putih

Sebarkan artikel ini

MERAH PUTIH

BARISAN.CO – Tahun pandemi ini, untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, kita mengibarkan bendera selama sebulan penuh. Dari tanggal 1 hingga 31 Agustus 2021. Di tiap RT tidak hanya merah putih yang berkibar, tapi juga dimeriahkan warna- warni umbul-umbul. Kurang lengkap, lampu hiasan pun dinyalakan. Hanya tidak ada panggung 17-an untuk perayaan hari proklamasi yang sakral dan keramat bagi bangsa yang sedang terus membangun, walau di tengah wabah mendunia.

Kita nyaris lupa, di masa perjuangan merebut kemerdekaan, para pejuang kita sulit mendapatkan kain putih terutama merah untuk dibuat bendera. Seorang gerilya, dalam pertempuran di pusat kota, naik ke puncak gedung kantor Belanda. Menurunkan bendera merah-putih-biru. Menyobek bagian birunya, lalu menaikkan lagi sebagai bendera merah-putih. Tidak dikabarkan, apakah dia selamat melakukan aksi heroiknya di tengah berondongan peluru.

Entah pula, apakah dia seorang yang melakukan keberanian tanpa menginginkan pujian seperti itu. Atau banyak ‘Pak Entah’ di setiap penyerbuan gerilya, dan entah berapa jumlah mereka yang gugur demi merebut kedaulatan bangsa. Sungguh perjuangan tanpa pamrih, kecuali teriakan merdeka, dengan pengorbanan jiwa raga.

Bu Fatmawati, isteri Bung Karno, konon menjahit bendera, dari kain sprai. Besoknya bendera berukuran cukup besar itu dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan RI di Pegangsaan Timur Jakarta. Proklamasi kemerdekaan dengan proklamatornya Soekarno-Hatta, dan tokoh-tokoh, serta rakyat pejuang, dalam barikade tentara Nippon bersenjata lengkap dengan bayonet. Dalam foto yang mengabadikan peristiwa bersejarah itu, kita tidak mengenal masyarakat pejuang yang ikut dalam upacara Proklamasi. Kita juga hanya bisa membayangkan, raut wajah Bu Fatmawati menyaksikan bendera jahitannya.

Di saat kita kanak, kita membuat sendiri bendera merah-putih kecil dari kertas, lalu kita ikut pawai kemerdekaan. Bendera kecil dari kertas seperti simbol rasa bangga dari hati kecil rasa merdeka kanak kita. Meski kita berjalan paling belakang, atau di pinggir bersama khayalak penonton pawai. Tangan-tangan kecil melambaikan bendera-bendera kecil, buatan sendiri.

Sekian puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan 1945, kita merayakan dengan gegap gempita. Di era orde baru kemudian reformasi, perayaan hari proklamasi kemerdekaan semakin meriah. Dari tingkat RT hingga kota, sampai kantor-kantor pemerintah daerah dan pusat. Entah apakah mereka ingat: arti sekian ribu nyawa para pahlawan menegasi arti hidup atau mati demi membela kedaulatan tanah-air.

Lalu sekarang di tengah pandemi, kita tetap merayakan meski dengan prokes dan atau upacara daring. Kita tetap mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan yang telah gugur. Kita mengenang para pendahulu yang telah menegakkan kedaulatan bangsa dan negara. Di bawah kibaran bendera, kita rasanya tidak kuasa tegak berdiri, atau bahkan menghormat, tapi tunduk dengan lidah kelu.

Betapa dengan takzim kita mengenang saudara dan sahabat serta masyarakat seumumnya yang telah gugur melawan virus mematikan. Ya, mereka telah gugur sebagai pahlawan, sebab bahkan mereka telah melakukan peperangan yang lebih dahsyat, yakni perang melawan musuh yang tidak tampak. Tidak ada kata lain untuk mereka kecuali doa: Alfatihah…..