Scroll untuk baca artikel
Terkini

Meski Termasuk Profesi Paling Berbahaya di Dunia, Banyak Orang Tidak Percaya Jurnalis

Redaksi
×

Meski Termasuk Profesi Paling Berbahaya di Dunia, Banyak Orang Tidak Percaya Jurnalis

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Menjadi jurnalis bukan pekerjaan mudah. Jurnalis menghadapi jam kerja industri yang panjang, gaji rendah, sumber daya minimal, dan lain-lain.

Bukan hanya itu, PBB bahkan mengategorikan jurnalis sebagai salah satu profesi paling berbahaya di dunia. Saat turun ke lapangan untuk meliput berita, tak jarang mereka menghadapi intimidasi, penyerangan, bahkan berujung dengan kematian.

Pada tahun 2020, menurut data International Federation of Journalists (IFJ), ada sebanyak 65 jurnalis yang mati terbunuh dalam pekerjaannya. Detail modus pembunuhan terhadap para jurnalis ini bermacam-macam mulai dari penyerangan, pembunuhan terencana, hingga serangan bom.

Namun sudah begitu, meski banyak kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya, rupanya jurnalis menjadi salah satu profesi yang tidak dipercaya oleh dunia.

Hal itu dapat dilihat dari Global Trustworthiness Index yang dirilis lembaga survei IPSOS. Menurut hasil survei, jurnalis hanya mendapat skor kepercayaan sebesar minus 10 persen.

Ada banyak faktor kenapa jurnalis tak lagi banyak dipercaya. Mengutip Global Managing Director di Reuters, Gina Chua, terkikisnya kepercayaan publik terhadap industri berita di antaranya disebabkan oleh meningkatnya misinformasi, dampak media sosial, dan perpecahan politik yang terjadi di seluruh dunia.

“Pelaporan berbasis fakta dan tidak memihak lebih penting dari sebelumnya,” kata Gina, menjawab tentang langkah yang seharusnya ditempuh jurnalis untuk kembali merebut simpati publik.

Kembali Pada Marwah Kebenaran

Global Editor in Chief di Insider, Nicholas Carlson menyebut tantangan terbesar bagi jurnalis ialah menghidupkan kebenaran. Ia menyebut, hari ini, kebenaran jurnalistik telah dipukuli habis-habisan oleh politikus, tokoh media, dan penipu.

“Semuanya hanya untuk kekuasaan dan keuntungan,” tegas Nicholas.

Sama halnya seperti isi tesis Paul H. Weaver berjudul News and the Culture of Lying: How Journalism Really Work, jurnalis dan politikus ibarat terjerat dalam jaringan simbiosis kebohongan yang menyesatkan publik.

Contoh kebohongan paling fatal baru-baru ini terjadi di Afrika Selatan. Di negara ini, sebelum virus varian Omicron terdeteksi, beberapa jurnalis menulis artikel tentang kasus Covid-19 yang melandai meski tanpa masker dan vaksin.

Padahal semua kita tahu masker dan vaksin menjadi senjata perlindungan selama pandemi ini. Namun, pemberitaan yang dikerangkai oleh para jurnalis Afrika Selatan membuat kebenaran menjadi tumpul. Dan akibat langsung dari pemberitaan yang sepenuhnya meragukan ini, beberapa negara menutup pintu rapat-rapat bagi warga negara Afsel.