Ini memang konsekuensi yang wajar dari sistem demokrasi yang juga disokong oleh Natsir. Kebebasan membentuk partai-partai itu, adalah seperti realitas Indonesia sendiri di masa itu, di mana terdapat partai berideologi Islam, Nasionalisme Sekular, Komunis, Sosialis serta partai-partai berasaskan agama-agama lain seperti Partai Katolik dan Partai Kristen.
Bagaimanakah caranya partai-partai dengan ideologi yang berbeda itu akan sudi untuk berpedoman kepada asas-asas doktrin politik Islam dalam membuat keputusan-keputusan politik? Natsir memang tidak memberikan jalan keluar dari kesulitan ini, sebagaimana juga tokoh-tokoh modernis yang lain seperti Iqbal dan Ali Jinnah.
Sebagaimana seorang politikus yang menjadi ketua sebuah partai politik Islam, dan seorang pemegang kekuasaan politik, atau bahkan dalam kedudukannya sebagai seorang opsisi, Natsir seringkali terpaksa harus berkompromi dengan realitas politik yang dihadapinya atau juga, kadang-kadang ia terpaksa harus mengemukakan suatu pendirian politik yang dilatarbelakangi oleh kekhawatiran-kekhawatiran tertentu.
Di samping soal keyakinan Natsir terhadap kebaikan-kebaikan sistem demokrasi yang dilihatnya juga sebagai suatu sistem yang sejalan dengan kesadaran batin manusia, pembelaan Natsir terhadap demokrasi dilatarbelakangi juga oleh kekhawatirannya terhadap kemungkinan munculnya diktatorisme di Indonesia, baik oleh Soekarno yang ketika itu menjadi Presiden konstitusional, atau pun juga oleh golongan komunis yang memang merupakan saingan utama, bahkan musuh utama Partai Masyumi yang dipimpin oleh Natsir.
Secara pribadi Natsir adalah anti komunis yang tegas. Ini memang mendapat dorongan dari keyakinan keagamaan yang dianutnya. Sikap anti-komunismenya itu tampak dari berbagai kecaman yang dilontarkannya kepada PKI. Ia seakan-akan tidak mengenal henti mengingatkan rakyat terhadap bahaya komunisme. Ia mengingatkan rakyat terhadap kemungkinan munculnya kediktatoran yang akan berjalan jika golongan komunis diberi kesempatan memegang kekuasaan politik. Peringatan seperti itu telah dilontarkannya jauh-jauh hari sebelum kebanyakan pemimpin politik dan militer Indonesia akhirnya komunisme setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Kekhawatiran terhadap kemungkinan Soekarno menjadi diktator dengan sokongan golongan komunis, yang pada akhirnya akan menguntungkan golongan yang disebutkan terakhir ini, menjadi sebab utama oposisi Natsir terhadap gagasan “demokrasi terpimpin” yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957. ketika Soekarno mulai mengecam sistem “demokrasi liberal” yang diimpor dari Barat dan ternyata, menurutnya tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Timur.
Demokrasi Timur menurut Soekarno tidak mengenal adanya “oposisi”, karena semua golongan di dalam masyarakat adalah ibarat sebuah keluarga yang “alle leden de familie aan tafel, aan de eettafel, en aan de werktafel” (Semua keluarga diajak menghadap meja yang sama, maka di meja makan yang sama, dan bekerja di meja kerja yang sama pula). Demokrasi seperti itu kata Soekarno adalah demokrasi bangsa Timur, yaitu demokrasi gotong royong berasaskan prinsip kekeluargaan. Belakangan Soekarno memberi nama demokrasi terpimpin, yaitu demokrasi yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Natsir menentang keras gagasan demokrasi terpimpin yang dikemukakan oleh Soekarno itu, apalagi Soekarno kemudian mengemukakan niatnya untuk “membubarkan” partai-partai politk sebagai bagian integral dari aplikasi demokrasi terpimpin yang tidak mengenal oposisi itu. Demokrasi, kata Natsir, selamanya harus menjamin kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan menyatakan sikap tidak setuju secara terbuka dan jujur tanpa rasa takut dan khawatir.