Scroll untuk baca artikel
Blog

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Redaksi
×

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Sebarkan artikel ini

Jadi, selama ada demokrasi, selama itu pula oposisi akan tetap ada. Demokrasi dengan pengakuan kebebasan menyatakan pendapat itu, menurut Natsir, adalah bersifat universal. Sebab itu, dia tidak melihat adanya apa yang disebut oleh Soekarno sebagai “demokrasi terpimpin” atau “demokrasi timur”, karena apa yang ada di dunia ini, menurut Natsir, hanyalah demokrasi atau bukan demokrasi. Jadi demokrasi terpimpin menurut yang tidak mengenal perbedaaan pendapat dan oposisi itu adalah bukan demokrasi. Kalau demikian, kata Natsir, demokrasi terpimpin tidak lain adalah sistem diktator.

Selama ada demokrasi, menurut Natsir, selama itu pula partai-partai akan tetap ada. Jika partai-partai itu sampai dikuburkan, maka yang akan tegak berdiri di atas kuburan itu tidak lain adalah sebuah batu nisan kediktatoran. Natsir menurut Yusril bukannya tidak menyadari adanya sisi lemah dari demokrasi itu sendiri. 

Namun dengan mengutip pendapat Radakhrisnan, ia mengatakan bahwa sampai dengan perkembangan peradaban yang mutakhir, manusia belum menemukan adanya sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Walaupun mempunyai sisi-sisi kelemahan, demokrasi menurut Natsir, adalah jauh lebih baik dari sistem dikatator, walaupun proses demokratis sering terkesan lamban dan tampak kurang heroik. Demokrasi, tambah Natsir, memungkinkan dicapainya perubahan-perubahan revolusioner melalui sebuah proses yang damai.

Tampak jelas sekali kekhawatiran Natsir terhadap kemungkinan Soekarno akan menjadi diktator dengan demokrasi terpimpin yang tidak mengenal oposisi itu. Kekhawatiran yang lain, yang tidak kalah pentingnya, ialah dengan penerapan demokrasi terpimpin itu, berarti golongan komunis juga akan ikut di dalam kabinet “gotong royong” yang menganggap semua golongan sebagai satu keluarga. Bagi Natsir gagasan Soekarno ini adalah gagasan absurd, karena bagi golongan Islam yang diwakili Natsir, golongan komunis disebutnya sebagai srigala berbulu domba yang hendak dimasukkan oleh Presiden Soekarno ke dalam satu kandang bersama-sama hewan ternak yang lain.

Sumber bacaan:

  1. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Mohammad Natsir, (Islamika No.3, Januari-Maret 1994)
  2. Mohammad Natsir, Capita Selecta 2; dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Puistaka Pendis, 1954-1957)
  3. Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Bandung : NV Penerbitan W. Van Houve, S-Gravenhage)
  4. Mohammad Natsir, Toleransi Dalam Islam, dalam Herbert Feith & Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988)
  5. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, cet. II, (Bandung; Mizan, 2000)
  6. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm 68. lihat juga Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,
  7. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,
  8. Capita Selecta, Artikel “Islam dan Demokrasi”, Kemalisten di Indonesia,
  9. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm 72. Lihat juga Mohammad Natsir, Memulihkan Kepercayaan Terhadap Demokrasi (1956) dalam Herbert Feith dan Lances Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia, (Jakarta; LP3ES, 1988)