Oposisi ini akhirnya merebak menjadi pergolakan bersenjata, setelah mereka membentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Barat. PRRI adalah pemerintah tandingan terhadap Pemerintah Pusat RI di Jakarta.
Alasan pembentukannya antara lain ialah, tokoh-tokoh PRRI berpendapat bahwa pemerintah RI di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda adalah pemerintah yang tidak sah karena dibentuk oleh Presiden Soekarno dengan cara-cara yang menyimpang dari aturan-aturan konstitusi yang berlaku.
Mereka pun menuduh bahwa pemerintah pusat RI terlalu toleran kepada golongan komunis; memfokuskan pembangunan ekonomi hanya di pulau Jawa dan mengabaikan daerah-daerah lain di Indonesia. PRRI akhirnya dapat dilumpuhkan secara militer oleh pemerintah pusat, sehingga kekuatan mereka tercerai-berai. PRRI–yang kemudian berganti nama menjadi Republik Persatuan Indonesia (RPI)–akhirnya menghentikan perlawanan, setelah pemerintah pusat mengumumkan amnesti umum kepada mereka yang menyerah.
Setelah menerima amnesti dari keterlibatannya di dalam PRRI, Natsir ternyata ditahan oleh Pemerintah Presiden Soekarno dengan dakwaan subversif. Ini sebenarnya tidak sejalan dengan janji amnesti yang sebelumnya telah diumumkan.
Selama tujuh tahun ia berada dalam tahanan tanpa proses peradilan, sehingga kesalahannya secara hukum tidak pernah dibuktikan Orde Baru, beberapa waktu setelah pemerintah Presiden Soekarno jatuh.
Di masa tua, Mohammad Natsir mulai enggan melibatkan diri dalam pertarungan politik secara langsung. Meskipun demikian, pengaruh pribadinya tetap merupakan sebuah faktor yang tidak dapat diabaikan dalam dunia politik Indonesia.
Semakin tua usianya, ia semakin memusatkan perhatiannya kepada soal-soal dakwah dan pembangunan umat. Hingga akhir hayatnya, Mohammad Natsir menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sebuah organisasi sosial keagamaan yang tidak melibatkan diri secara langsung ke dalam peristiwa-peristiwa politik.
Walaupun di masa tua Natsir, mengatakan tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan politik secara langsung, akan tetapi dia tidak tinggal diam dalam menghadapi berbagai peristiwa politik. Sebagai salah seorang sesepuh, kadang-kadang ia masih juga menggunakan pengaruh pribadinya untuk menumbuhkan suasana kehidupan politik yang lebih baik dan lebih demokratik, sesuai dengan konstitusi di negeri ini.
Maka tidaklah mengherankan jika ia ikut serta menanda-tangani “Pernyataan Keprihatinan” yang kemudian lebih populer dengan sebutan kelompok “Petisi 50”. Sikap politik Mohammad Natsir yang paling akhir menjelang wafatnya, ialah dukungannya kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilu 1992.
Natsir menganggap, partai perlu mendapatkan kursi yang lebih banyak di DPR, agar demokrasi tidak tenggelam di bawah single majority salah satu kekuatan sosial-politik, yang dapat membuka peluang lumpuhnya fungsi kontrol dari lembaga perwakilan rakyat itu.
Di dunia internasional, Natsir dikenal karena dukungannya yang tegas terhadap pergerakan-pergerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Muslim di Asia dan Afrika, dan usahanya untuk menghimpun kerjasama antara negara-negara Muslim yang beru merdeka. Karena itu agaknya tidak berlebihan jika Dr. Inamullah Khan menyebut Natsir sebagai salah seorang tokoh besar dunia Islam abad ini.
Sebagai sesepun pemimpin politik, Mohammad Natsir sering dimintai nasehat dan pandangannya bukan saja oleh tokoh-tokoh PLO, Mujahidin Afghanistan, Moro, Bosnia dan lainnya, tetapi juga oleh tokoh-tokoh politik di dunia bukan Muslim seperti Jepang dan Thailand.