Sebagai penghormatan kepada Mohammad Natsir, sejak tahun 1967, dia dilantik menjadi wakil Presiden World Islamic Congress yang bermarkas di Karachi, Pakistan, dan anggota Badan pendiri, Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia. Ia memangku jabatan itu hingga akhir hayatnya.
Biografi singkat Natsir seperti dikemukakan di atas, diharapkan dapat membantu untuk memahami pemikiran-pemikirannya. Dia telah menuliskan gagasannya, kadang-kadang dalam bentuk polemik, baik mengenai Islam, filsafat, kebudayaan dan politik semenjak usia muda.
Gagasan
Gagasan-gagasannya itu, tidak dapat dilihat semata-mata sebagai salah satu renungan intelektual dari seorang tokoh yang berada di atas menara gading, karena dia menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik, yang ia sendiri terlibat sebagai salah seorang pelakunya.
Keterlibatan Mohammad Natsir dalam memimpin sebuah partai politik terbesar di Indonesia dan berkali-kali terlibat dalam memgang kekuasaan politik seperti telah diungkap di atas, menyebabkan ia harus dilihat dalam perspektif yang berbeda dengan beberapa tokoh pemikir Islam terkemuka yang lain di abad ini, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb ataupun Sayyid Abu al-A’la al-maududi.
Ketiga tokoh yang disebut terakhir ini, adalah pemimpin suatu pergerakan sosial, keagamaan dan politik yang bercorak marginal, dan selama hidupnya berada di luar panggung kekuasaan politik di negara mereka masing-masing.
Secara metodologis, untuk memahami pemikiran seorang tokoh tentulah tidak akan memuaskan jika hanya mengkaji latar belakang sosialisasi intelektual dan politiknya. Tidak dapat pula diabaikan kaitan gagasannya dengan pandangan-pandangan filosofis tertentu yang dianutnya, aliran-aliran pemikiran yang dianutnya, dan konteks zaman di mana seorang pemikir menjalani kehidupannya.
Dalam hubungannya dengan Natsir, perlu juga dipahami landasan filosofis pemikirannya, alirannya dan berbagai tantangan pemikiran dari orang-orang lain yang sezaman dengannya. aspek-aspek ini akan menjadi fokus pembahasan di dalam paragraf-paragraf di bawah ini.
Basis Pemikirannya
Latar belakang sosialisasi intelektual dan keagamaannya, serta tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang berusaha untuk “memojokkan” Islam, baik dari kaum orientalis Belanda, tokoh-tokoh nasionalisme” yang cenderung sekuler dan berusaha membangkitkan nostalgia zaman pra-Islam, telah mendorong Natsir untuk mengikuti jejak “modernisme politik” dari pendahulunya, Agus Salim dan Tjokroaminoto.
Gagasan-gagasan gerakan politik Mohammad Natsir yang pertama kali dilontarkannya pada awal tahun 1930, memperlihatkan ciri-ciri pemikiran “modernisme Islam”. Natsir di masa muda, lebih memperlihatkan corak pemikiran mempertahankan Islam dari berbagai serangan pihak yang ingin menyudutkannya.
Keadaan kaum muslimin Indonesia pada masa itu, memang dapat dikatakan berada dalam suasana kemunduran pada berbagai aspek kehidupan. Faktor yang mempengaruhi kemunduran ini adalah tentu saja terjadinya penjajahan yang berkepanjangan, dan sikap penjajah yang memusuhi Islam.
Menurut Mohammad Natsir, bahwa kemajuan atau kemunduran umat Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan kepada doktrin tauhid, serta bagaimana mereka mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan keseharian mereka, pandangannya ini tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh modernis yang lainnya.
Natsir bertindak sebagai seorang reformis yang berusaha untuk memberikan interpretasi baru kepada doktrin-doktrin keagamaan, dan mengajak masyarakat untuk memurnikan pelaksanaan amalan-amalan keagamaan mereka dari unsur-unsur bukan Islam.