Scroll untuk baca artikel
Blog

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Redaksi
×

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Sebarkan artikel ini

Pengaruh pandangan keagamaan A. Hassan, pemimpin Persatuan Islam yang menjadi gurunya, tampak terasa dalam usaha Mohammad Natsir di bidang ini. A. Hassan memang dikenal sebagai seorang ulama yang bersikap keras untuk melaksanakan amalan-amalan keagamaan dengan semata-mata berasaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Hassan pun dikenal amat anti-paham taqlid, bid’ah dan khurafat. 

Walaupun diskusi-diskusi Natsir, menurut Yusril Ihza Mahendra baru berkenan dengan masalah-masalah agama pada awal tahun 1930-an itu nampak membincangkan masalah-masalah “sederhana” jika dilihat dari perspektif masa kini, seperti persoalan mengenai “nawaitu” dalam shalat, membaca doa qunut dalam shalat shubuh, dan membaca talqin serta kenduri selepas menguburkan jenazah, namun diskusi-diskusi itu akhirnya membuka minat yang lebih luas untuk mendalami agama, dan mengkajinya secara lebih kritis dan bercorak intelektual. 

Setelah diskusi-diskusi mengenai perkara-perkara “sederhana” itu mulai mereda, perhatian kemudian ditujukan kepada persoalan-persoalan keislaman yang lebih luas, yang mencakup pula persoalan-persoalan masyarakat dan politik.

Dalam rangka semangat intelektualisme keagamaan yang mulai tumbuh itu, Mohammad Natsir berusaha untuk merumuskan pandangan mengenai tauhid yang menjadi asas bagi ajaran Islam.

Dia memang tidak menulis sebuah risalah mengenai ilmu kalam, seperti dilakukan oleh Muhammad Abduh, namun berusaha untuk memberikan pandangan baru mengenai tauhid secara lebih komprehensif. 

Mohammad Natsir mengibaratkan tauhid sebagai sebilah pisau yang bermata dua. Pada satu sisi, ia menegaskan keesaan Allah sebagai satu-satunya dzat yang dipertuhan (al-Ilah) oleh manusia, dan menjadi titik tolak dari seorang muslim dalam memandang hidupnya.

Dengan memandang hidup itu sebagai sesuatu yang berawal dari Tuhan dan kembali lagi kepada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu ada adalah hamba-hamba-Nya yang menjalani kehidupan yang sementara di dunia ini, maka tauhid membawa implikasi-implikasi besar dalam kehidupan manusia. 

Mengarahkan hidup hanya kepada Tuhan yang transenden, maka manusia secara individu telah menjalani proses pembebasan dari belenggu hawa nafsu, menumbuhkan asas-asas etika kehidupan yang kukuh dan memerdekakan manusia dari perhambaan kepada sesama makhluk. 

Tauhid bagi Mohammad Natsir akan membuat hidup manusia menjadi lebih bermakna, menumbuhkan rasa tanggung jawab individual manusia terhadap Tuhannya. Ibadah-ibadah keagamaan seperti shalat, zikir dan puasa, akan terus menerus memperkukuh hubungan manusia dengan Tuhannya.

Ibadah-ibadah ini merupakan proses penyucian jiwa, yang juga berfungsi sebagai usaha untuk memperbaharuui iman, memperhalus kepekaan hati nurani dan akhirnya juga sebagai upaya untuk meningkatkan kecerdasan intelektual masing-masing individu.

Dengan demikian, menurut Natsir, sisi pertama dari tauhid, adalah memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spiritualitas yang mendalam, dan juga menjadi basis etika pribadi. 

Masih menurut Natsir, sisi kedua dari tauhid, berisikan penekanan kepada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran. Artinya dalam konteks kemanusiaan, tauhid jelas-jelas menegaskan prinsip humanisme universal yang tanpa batas.

Karena itu, Natsir dalam berbagai tulisannya sering kali menegaskan bahwa manusia akan ditimpa oleh bencana yang dahsyat, kecuali mereka yang memelihara tali perhubungan dengan Tuhan dan dengan sesama.

Hubungan manusia dengan Tuhan yang ditumbuhkan melalui shalat dan zikir, lebih jauh akan menuntut implementasi dalam hubungan sosial. Karena itu bagi Natsir, iman dan amal saleh, adalah dua perkara yang saling berhubungan erat, karena yang satu tidak akan sempurna tanpa yang lainnya.