Scroll untuk baca artikel
Blog

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Redaksi
×

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Sebarkan artikel ini

Kaum muslimin yang hidup pada suatu zaman dan tempat tertentu di dunia ini, menurutnya adalah bebas untuk menyusun negara mereka sendiri menurut cara-cara yang sesuai dengan keadaan mereka. Mereka pun berhak pula untuk mencontoh berbagai sistem pemerintahan yang telah dikembnagkan oleh bangsa-bangsa lain meskipun mereka bukan bangsa Muslim. Karena, menurut Natsir, prestasi sebuah peradaban tidaklah semata-mata menjadi hak milik mutlak masyarakat yang melahirkannya. Bangsa-bangsa lain berhak pula untuk menikmati penemuan-penemuan masyarakat lain bagi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Dan bagi Natsir demokrasi adalah sistem yang mendekati apa yang dimaksudkan dalam Islam sebagai syura.

Untuk membaca pemikiran Natsir tentang negara, ada dua hal yang perlu diperhatikan pertama, yaitu faktor sosial politik pada saat terjadinya polemik (1940) terutama yang berkaitan dengan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekular. Ditilik dari segi ini, munculnya gagasan Natsir merupakan usaha untuk memperkuat ikatan ideologis diantara kubu nasionalis Islam, kedua, lahirnya gagasan Natsir, dianggap sebagai reaktif terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung nasionalis sekular. 

Dalam hal ini akar pemikiran Soekarno nampaknya sama dengan pemikiran Kemal Fasya di Turki ketika menerapkan pemisahan antara negara dan agama. Dengan demikian, ada dua faktor yang melatarbelakangi pemikiran Natsir tentang negara yaitu tanggapan Natsir terhadap sekularisasi yang sedang terjadi di Turki yang sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Soekarno sebagai “lawan” debat Natsir.

Pada tahun 1940, ketika Natsir masih muda dan menjadi aktivis pergerakan sosial dan politik di masa penjajahan, dia menganjurkan cara yang liberal dalam menyusun sebuah negara (Indonesia) di masa yang akan datang. “Umat Islam”, katanya, boleh mencontoh sistem-sistem pemerintahan yang ada di negara-negara lain seperti Inggris, Finlandia, Jepang, bahkan Rusia, jika mereka menilai sistem-sistem itu dapat mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh Islam. 

Natsir memang mengingatkan agar kaum Muslimin jangan sekadar mencontoh saja secara membabi buta tanpa penilaian kritis terhadap berbagai pemerintahan yang telah ada itu. Contoh negara-negara yang disebutkan Natsir itu tampaknya amat liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter berhaluasn fasis. Sedangkan Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu sengaja ditunjukkan olehnya, semata-mata ingin memperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem pemerintahan yang telah ada di dunia.

Menurut Yusril, Natsir lebih tertarik untuk mengadaptasi asas-asas sosial dan politik di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan paham demokrasi liberal seperti dipraktekkan di Eropa dan Amerika Serikat. Natsir beranggapan bahwa dasar-dasar sosial politik Islam sebenarnya menghendaki sebuah sistem yang demokratis yang hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal. 

Perbedaannya hanya terletak pada garis panduan untuk dijadikan dasar dalam menetapkan kebijaksanaan politik, hukum dan berbagai keputusan politik lainnya. Dalam demokrasi Islam, menurut Natsir, perumusan kebijaksanaan politik, ekonomi, hukum dan lain-lainnya haruslah mengacu kepada asas-asas yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Atau sekurang-kurangnya kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip doktrin. 

Natsir berpendapat bahwa Islam itu “tidak demokrasi 100%”. Karena keputusan politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota-anggota parlemen. Keputusan itu, tidak dapat melampaui hudud (batas-batas) yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Natsir menyebutnya dengan demokrasi di dalam Islam dengan istilah “Theistic Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan.