Hudud yang disebutkan oleh Natsir itu bukanlah sistem penghukuman dalam hukum pidana Islam seperti ditafsirkan oleh golongan alim-ulama berpaham tradisional, melainkan “prinsip-prinsip moral universal” yang akan menjamin tegaknya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Jadi, dia menafsirkan hudud itu hampir serupa dengan konsep “natural law” seperti dipahami Thomas Aquinas, Natsir menjamin tidak akan ada norma-norma hukum yang akan mempunyai kekuatan untuk berlaku, jika ia berlawanan dengan “natural law” sebagai norma moral yang universal.
Demokrasi yang dikehendaki oleh Islam dalam pandangan Natsir adalah hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal, kecuali panduan dalam mengambil keputusan politik seperti dikatakan di atas, didasarkan kepada interpretasinya atas konsep ijtihad, syura’ dan ijma’. Ijtihad dilihat oleh Natsir sebagai suatu keharusan mutlak bagi Islam dalam menghadapi dinamika perubahan masyarakat.
Tanpa ijtihad, doktrin sebagaimana ditafsirkan serta diwariskan oleh tradisi di masa yang silam akan kehilangan relevansinya dengan problema dunia masa kini. Ijma’, secara tradisional diartikan sebagai “kesepakatan alim ulama fiqih tentang kualifikasi hukum dari suatu perkara yang tidak tegas penentuan hukumnya, baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam Sunnah”. Natsir melihat ijma’ sebagai kesepakatan mayoritas kaum muslimin pada suatu tempat dan suatu zaman tertentu terhadap masalah-masalah bersama yang mereka hadapi dengan berpegang kepada asas-asas doktrin di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Menurut Natsir, konsep ijtihad dan ijma’ jika dihubungkan dengan konsep syura yang disebutkan di dalam al-Qur’an, dapat diwujudkan ke dalam bentuk sebuah parlemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh seluruh rakyat. Mereka yang menerima amanah dari seluruh rakyat itu, dengan berpegang kepada asas-asas doktrin, dapat membuat berbagai kebijaksanaan politik hukum, dan keputusan politik lainnya berdasarkan keputusan-keputusan suara mayoritas.
Pandangannya ini didasarkan pada salah satu hadits Nabi Muhammad yang terkenal di kalangan kaum modernis, yaitu “umat ku selamanya tidak akan pernah bersepakat di dalam kesalahan”.
Dengan alasan ini, pemikiran modernisme Islam yang dianut Natsir, memang mempunyai kesamaan-kesamaan dengan tokoh-tokoh modernisme yang lain, baik tokoh-tokoh pendahulunya seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim, maupun tokoh-tokoh modernis Muslim di negeri lain seperti Mohammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah di India (dan kemudian, Pakistan).
Dengan cara melakukan adaptasi antara asas-asas doktrin sosial dan politik Islam dengan gagasan-gagasan modern mengenai demokrasi di negeri-negeri Barat itu sebagai suatu contoh, dapat dimengerti berbagai ucapan Natsir, bahwa “sorang Muslim tidak perlu menjadi seorang sekular terlebih dahulu, untuk menjadi orang modern.” Dia memang yakin bahwa asas-asas Islam itu, jika ditafsirkan dengan cara wajar, akan membawa kaum Muslimin kepada kemodernan tanpa harus terjerumus kepada westernisme dan sekularisme.
Namun corak pemikiran adapatif dan akulturatif dengan kemodernan itu bukannya tanpa resiko dan tanpa kesulitan untuk menjalankannya di dalam sebuah masyarakat Muslim. Bagi kelompok fundamentalis, pemikiran politik kaum modernis hampir tidak banyak bedanya dengan pemikiran-pemikiran sekular. Modernisme politik Islam hanyalah membungkus gagasan-gagasan politik Barat dengan baju Islam yang pada intinya tetap sekular, dan tidak “orisinal” berasal dari Islam.
Resiko itu – seperti dikritik kelompok fundamentalis diantaranya ialah, demokrasi yang bercorak akulturatif itu, akan mudah membawa kepada liberalisme tanpa menjadikan asas-asas doktrin sebagai pedoman dalam membuat keputusan-keputusan politik, namun semata-mata berasas kepada kekuatan politik golongan mayoritas. Kesukaran pelaksanaannya ialah terdapatnya kebebasan bagi rakyat untuk membentuk partai-partai politik berdasarkan ideologi-ideologi yang berbeda.