Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Muhammad Asad, Sang Mufasir Inklusif

Redaksi
×

Muhammad Asad, Sang Mufasir Inklusif

Sebarkan artikel ini

SEORANG lelaki berkulit putih itu sedemikian terpukau dan tersentuh hatinya dengan keluhuran budi, juga kesederhanaan, orang-orang Arab Badui. Ia seorang Eropa-Yahudi, duduk termangu di tengah hamparan padang pasir Arab, dalam lawatannya ke tanah itu sebagai koresponden surat kabar terkemuka Eropa: Frankfurter Zeitung, Neue Zurcher Zeitung, Kolnische Zeitung, dan De Telegraaf. Ia terlahir dari sebuah keluarga keturunan rabi-rabi Yahudi, di kota Lwow, Austria, 2 Juli 1900.

Leluhurnya hingga kakeknya secara turun-temurun adalah rabi Yahudi. Ayahnya saja yang tak meneruskan tradisi itu, lebih memilih sebagai pengacara. Saat kecil si lelaki itu, di kota Lwow hingga berusia 13 tahun, menghabiskan waktu untuk mempelajari kitab-kitab Yahudi. Tak pelak ia pun sangat fasih menguasai bahasa Ibrani, mahir berbahasa Aram.

Tahun 1918 ia menempuh pendidikan di Univeristas Wina, menyuntuki Sejarah, Seni, dan Filsafat. Kemudian pada 1922, ia meninggalkan Austria melawat ke Timur Tengah sebagai koresponden. Ia bertualang, bak musafir, hingga ke pelosok-pelosok wilayah Timur Tengah. Ia singgahi kota-kota besar seperti Kairo, Najd, Madinah, Makkah, Yerusalem, Amman, Damaskus, dan Istanbul. Berikutnya ia juga melawat ke Bagdad, Kabul, Kandahar, Samarkand, dan Bukhara.

Saya membayangkan lelaki itu, saya ketahui kemudian ia bernama Leopold Weiss, sedemikian asyik bergaul dengan suku-suku Badui Arab. Saking asyiknya, ia merasa telah jadi orang Arab. Ia pun mulai terganggu oleh ideologi dan perilaku Zionis Yahudi di Yerusalem. Lawatannya ke negeri-negeri yang mayoritas berpenduduk muslim, telah membuka dan membangkitkan rasa cintanya kepada agama Islam. Sehingga, pada 27 April 1927, Leopold Weiss resmi memeluk Islam, dan menggunakan nama Muhammad Asad. Asad adalah versi bahasa Arab dari namanya Leopold, berarti singa.

Tahun yang sama, 1927, Muhammad Asad menikahi Elisa Schiemann, pelukis sekaligus janda 22 tahun lebih tua dari Asad dan mempunyai seorang putra, Heinrich, berkebangsaan Jerman. Namun, tak selang lama Elisa pun meninggal di Makkah, tatkala mereka bertiga menunaikan haji. Semenjak itulah, akhirnya Muhammad Asad menetap lama di Arabia. Ia serius mendalami bahasa dan kultur Arab. Ia pelajari secara seksama bahasa Arab Badui, bahasa Arab paling murni dan mendekati bahasa ketika Al-Quran diturunkan. Asad benar-benar melebur dengan kehidupan Arab. Ia juga menguatkan kemampuan berbahasa Arab di Universitas Al-Azhar. Sementara ilmu hadis ia tekuni di Masjid Nabawi.

Singkatnya, Muhammad Asad mencecap suasana lingkungan Islam di tanah tempat dulu Nabi Saw. selama 23 tahun menyiarkan agama tauhid. Ia habiskan banyak waktu di Najd, Makkah, dan Madinah untuk mempelajari Al-Quran dan Sunah Nabi Saw. Ia cermati dengan seteliti mungkin diksi, tabiat kata, metafor, dan alegori-alegori yang melekat di kitab suci. Ia juga suntuki karya-karya besar para pemikir Islam. Ia kaji, dan terus mengkajinya tiada surut.  

Setiap musim haji, Asad berkesempatan bertemu dan menjalin persahabatan dengan pelbagai ulama dan tokoh dari segenap penjuru dunia. Ia bersahabat dengan pendiri Kerajaan Arab, Abdul ‘Aziz ibn Sa’ud. Ia berteman dengan Haji Agus Salim, tokoh pergerakan Indonesia. Juga bersahabat, bahkan sempat terlibat dalam perjuangan, dengan Omar Mukhtar, sang singa padang pasir Libia. Dan, tak kalah penting ia berakrab dengan Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair besar dari anak benua India.

Dari situlah, saya bisa membayangkan betapa gundah seorang Asad tatkala menyaksikan ketidakcocokan kenyataan umat Islam dengan doktrin normatifnya. Betapa bertolakbelakang kenyataan masa lalu umat Islam dengan kenyataan hari ini. Betapa umat Islam secara berangsur justru lebih memilih untuk menjauhi spirit ajaran Islam. Betapa umat malah memerosokkan diri ke lembah kemalasan. Ekstase dalam kecupetan berpikir.