Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Muhammad Asad, Sang Mufasir Inklusif

Redaksi
×

Muhammad Asad, Sang Mufasir Inklusif

Sebarkan artikel ini

Setiap musim haji, Asad berkesempatan bertemu dan menjalin persahabatan dengan pelbagai ulama dan tokoh dari segenap penjuru dunia. Ia bersahabat dengan pendiri Kerajaan Arab, Abdul ‘Aziz ibn Sa’ud. Ia berteman dengan Haji Agus Salim, tokoh pergerakan Indonesia. Juga bersahabat, bahkan sempat terlibat dalam perjuangan, dengan Omar Mukhtar, sang singa padang pasir Libia. Dan, tak kalah penting ia berakrab dengan Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair besar dari anak benua India.

Dari situlah, saya bisa membayangkan betapa gundah seorang Asad tatkala menyaksikan ketidakcocokan kenyataan umat Islam dengan doktrin normatifnya. Betapa bertolakbelakang kenyataan masa lalu umat Islam dengan kenyataan hari ini. Betapa umat Islam secara berangsur justru lebih memilih untuk menjauhi spirit ajaran Islam. Betapa umat malah memerosokkan diri ke lembah kemalasan. Ekstase dalam kecupetan berpikir.

Lantas, terbitlah gairah dalam diri Asad untuk turut mengembalikan kejayaan Islam. Ia berangan untuk menyusun penerjemahan Al-Quran dengan menelusuri makna-makna dari sumber-sumber tepercaya. Menelusurinya via kitab-kitab tafsir klasik dari para pendahulunya, juga mengulik pada mufasir modern, Muhammad Abduh. Dan, akhirnya dunia Islam patut bangga, Asad benar-benar mewujudkan angannya. Ia, sebelum tutup usia pada 20 Februari 1992, sukses menyuguhkan The Message of the Qur’an, kitab terjemahan dan penjelasan Al-Quran berbahasa Inggris, terbit di Gibraltar tahun 1980 (edisi bahasa Indonesia telah hadir berkat Penerbit Mizan, 2017).

Asad, yang berlatar sejarah, seni, dan filsafat, serta benar-benar merasai denyut suku dan bahasa Arab Badui, berhasil menghidangkan tafsir—meski Asad sendiri tak menyebutnya tafsir, tapi terjemahan dan penjelasan—yang memikat dan tetap bercita rasa sastra, sekaligus kaya dengan interpretasi rasional. Sekira kita baca awal surah Al-Baqarah, misalnya, kita tidak akan menjumpai “yang gaib” untuk terjemahan kata al-ghaib, tetapi Asad menerjemahkan menjadi “[adanya] hal-hal yang berada di luar persepsi manusia”. Atau kata “bertakwa” juga tidak kita jumpai karena Asad menerjemahkan istilah al-muttaqin menjadi “semua orang yang sadar akan Allah”.

Sehingga, dari The Message of the Qur’an inilah, saya menangkap Asad sebagai penjelas kitab suci yang rasional. Ia tidak larut dengan kisah-kisah yang sulit diterima nalar. Contoh peristiwa Isra dan Mikraj, perjalanan malam Nabi Saw. dari Makkah ke Yerusalem, dan perjalanan Nabi ke langit. Sebagian besar sahabat dan umat Islam pada umumnya percaya bahwa Nabi Saw diperjalankan secara ragawi menuju Yerusalem dan kemudian menuju langit. Namun, sebagian kecil saja sahabat—di antaranya ada nama ‘Aisyah, istri Nabi—yang menyatakan dengan tegas bahwa pengalaman Nabi itu murni bersifat ruhani. Muhammad Asad berdiri di kubu kecil itu. Asad meyakini Isra dan Mikraj terjadi hanya dengan jiwa beliau. Bukan peristiwa ragawi, juga bukan mimpi. Isra dan Mikraj adalah pengalaman ruhani. Dan pengalaman ini hanya akan menyapa kepada pribadi yang memiliki kesempurnaan ruhani yang luar biasa.