Mata Budaya (10)
Seorang ibu-ibu penjaja jajanan di bawah pohon beringin bermonolog. Bergumam setiap buah-buah beringin berjatuhan menimpa jajaannya. Batang dan rantingmu besar, bahkan daunmu lebat merindangi, tapi buahmu kecil tak berguna.
Lalu ia melihat rekah memerah semangka jajaannya. Beda dengan semangka, batangnya kecil bahkan tak kuasa berdiri tegak, tapi buahnya besar dan manis segar guna penghilang dahaga bagi musafir.
Monolog itu seakan mengisyaratkan tentang manusia dengan peran masing-masing. Wong alit yang betapa pun masyarakat kecil tapi hidupnya punya manfaat bagi lingkungan. Berbeda dengan orang besar yang meski berlimpah duniawi, tapi tidak memberi kemaslahatan bagi orang banyak.
Belum lagi monolog tentang padi, kayu jati, tebu, bambu, aneka buah, bunga-bunga, dan pada gilirannya hutan belantara dengan kehidupan satwanya.
Sungguh satu monolog yang berbicara tentang gambaran kehidupan manusia dengan fungsi dan peran masing-masing yang berbeda. Beragam dengan hak dan tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial-budaya.
Guru dengan tugasnya sebagai pendidik. Seniman sebagai pembawa sifat keindahan. Ulama dalam fitrahnya sebagai pencerah kehidupan rohaniah. Sebagaimana pula pengejawantahan tiga unsur kehidupan. Bagaimana dengan ilmu hidup lebih mudah. Dengan seni hidup lebih indah. Dengan agama hidup lebih bermakna.
Dalam dunia pewayangan lebih menegasikan filosofi manusia dengan tiga perbedaan watak anak wayang. Guruloka, para dewa dan titisannya; Batara Guru, Wisnu, Kresna yang dalam jagat modern adalah para petinggi dan politikus.
Giriloka, sang pamomong atawa ponokawan (pono=tahu, kawan=friend); Semar, Gareng, Petruk, Bagong (Sunan Kalijaga: Umaroh, Ghoiroh, Fitroh, Baqoh). Janaloka, Togog dan para raksasa serakah dan korup, yang hajat hidupnya hanya pemenuhan napsu dari perut kebawah.
Pada 1980-an ada perbedaan mengenai nilai/institusi ulama dan politik. Pilih ulama berpolitik, atau ulama tidak berpolitik. Berpolitik dalam pengertian masuk dalam partai politik. Hingga kini, perbedaan sikap dan atau dikotomi ini tampaknya tetap berlaku. Kita bisa menginovasi filosofi pohon hingga dunia pewayangan dalam identivikasi politik identitas kepentingan golongan atau ideologi parpol tertentu.
Politik identitas ulama dan politik tampaknya bisa terus diperdebatkan dengan ilmu modern mana pun. Perdebatan antara politik identitas dan science yang merujuk pada nilai/institusi ke-ahli-an. Akan tetapi…
Bahkan Rasulullah berabad lalu sudah berkhadist: segala sesuatu mesti diserahkan kepada ahlinya, kalau tidak tunggu saat kehancurannya.***