Ketika hujan lokal terjadi di Kampung Pulo, Bukit Duri misalnya, air tidak bisa langsung turun ke sungai karena tingginya tembok beton akibat normalisasi.
BARISAN.CO – Program normalisasi sungai Ciliwung dimulai saat Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Program itu sesuai dengan Perda Khusus Ibu Kota DKI Jakarta nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakata, di mana kemudian kembali dipertegas dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Program normalisasi tersebut dikerjakan bersama antara Balai Besar Wilayah Sungai CIliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan dan Perumahan (KemenPUPR) dan Pemprov DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta bertugas untuk pembebasan lahan dan BBWSC membangun infrastrukturnya.
Namun, normalisasi ini menuai banyak kritik, termasuk dari Ciliwung Institute. Kritikan itu langsung disampaikan oleh Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun dalam Mimbar Virtual: “Penurunan Muka Tanah di Jakarta, Pindah Ibu Kota Bisakah Jadi Solusi?”, Rabu (25/1/2023).
Dia menyampaikan, normalisasi sungai justru menambah masalah di Jakarta.
Saat kondisi musim hujan normal, Asun mengungkapkan, debit air akan menjadi tanggungan palung sungai dan melimpas ke kanan kiri sungai, yang naturalnya. Naturalnya, sempadan sungai memiliki fungsi utama sebagai sebagai retensi air, yang disiapkan ketika air meluap sambil menunggu air pasang laut surut, kemudian muara sungai mampu mengalirkan debit sungai ini secara alamiah, tambahnya.
Betonisasi sungai di proyek normalisasi sungai di kawasan selatan Jakarta, dijelaskan Asun justru menghilangkan kemampuan sempadan sungai yang berfungsi sebagai daratan banjir dan tempat retensi akibatnya betonisasi sungai di hulu Jakarta akan mengancam beban akumulasi banjir lebih besar yang diemban oleh kampung-kampung di hilir di Utara yang juga berhadapan dengan jadwal pasang laut. Sehingga, dengan kondisi seperti itu, Asun berpendapat, kondisi banjir dari dua arah, yakni banjir hulu di Selatan dan banjir dari laut di Jakarta akan menyebabkan kondisi menjadi terkunci, atau yang disebut dengan istilah #JakartaSkakMatCity “Cara Bunuh Diri Jakarta”.
Selain itu, Asun menambahkan, ketika hujan lokal terjadi di Kampung Pulo, Bukit Duri misalnya, air tidak bisa langsung turun ke sungai karena tingginya tembok beton normalisasi.
“Kita lihat juga ada ancaman lain bahwa tanggul tembok ini memberi memberi solusi palsu kampung-kampung seperti Bukit Duri dan Kampung Pulo. Ketika banjir besar 2020, sewaktu-waktu ancaman risiko tanggul jebol dapat mengakibatkan tsunami yang membahayakan masyarakat Kampung Pulo dan Bukit Duri, yang padat penduduk,” kata Asun.
Namun demikian, Asun berharap hal itu tidak terjadi.
“Kalau terjadi, Kementerian PUPR harus menanggung jumlah jiwa yang meninggal kalau kampung-kampung itu tenggelam karena tanggul jebol itu. Tembok sungai juga tidak begitu kokoh,” imbuhnya.
Risiko tanggul sungai jebol mengakibatkan korban jiwa pernah terjadi pada tahun 2013. Tanggul Laturharhary jebol, yang mengakibatkan banjir besar di Kawasan Sudirman-Thamrin, Bundaran HI hingga Istana Negara, korban jiwa meninggal karena terjebak dan tenggelam di gedung basement gedung, terangnya.
Masalah selanjutnya, Asun menjelaskan, air banjir dan sedimentasi di dalam kampung terjebak di sisi dalam tembok tanggul terperangkap oleh tingginya tanggul itu sendiri, sebelum adanya betonisasi, sedimentasi sungai hanya tinggal disemprot saja ketika banjir surut, sekarang ini tidak lagi dapat dilakukan.
“Ini juga membuat masalah baru. Genangan-genangan air jadi sarang nyamuk dan kita lihat sekarang, Jakarta akan menjadi Kota Seribu Pompa,” paparnya.