SEPEKAN terakhir ini ruang publik diramaikan dengan isu oligarki. Pemerintahan yang sedang menjalankan kekuasaan dituding menjalankan praktik oligarki terselubung. Seperti biasa, respons pendukung kekuasaan sudah bisa ditebak, menolak tuduhan tersebut.
Isu oligarki memang selayaknya diurai secara jernih. Dibutuhkan beberapa penjelasan awal guna mendudukkan posisi oligarki dalam ruang pemerintahan yang sementara berlangsung. Kata oligarki berasal dari Bahasa Yunani “oligarkhia”. Bila dirunut ke akarnya, ada dua kata yang menyusunnya yakni “ologon” yang berarti sedikit dan “arkho” yang memiliki arti memerintah. Oligarki kemudian didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elite kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Mark Bovens dan Anchrit Wille dalam sebuah karya yang berjudul Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy menekankan bahwa demokrasi sesungguhnya merupakan sistem yang dicetuskan sebagai bentuk penentangan terhadap kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kekuasaan secara turun temurun merupakan praktik oligarki yang nyata. Di berbagai Negara Eropa yang menerapkan demokrasi golongan bangsawan yang turun temurun perlahan digantikan oleh kelompok elite terdidik selama abad ke-20.
Mekanisme pemilihan umum oleh rakyat dalam Negara demokrasi diharapkan bertindak sebagai senjata pamungkas untuk memutus mata rantai oligarki. Harapannya melalui pemilu, rakyat dari semua kalangan punya kesempatan sama menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sehingga pemerintahan diisi oleh orang dari berbagai latar belakang. Situasi ini diharapkan mampu mencegah munculnya sekelompok elite kecil yang mengontrol kekuasaan.
Sayangnya cita ideal tersebut tidak seindah dengan kenyataan di lapangan demokrasi. Tesis tersebut lupa memperhitungkan bahwa untuk ikut dalam perhelatan pemilu, khususnya pemilihan langsung dalam konteks Indonesia, membutuhkan biaya yang amat besar. Pada posisi ini kekuatan uang memainkan peran penting. Rata-rata yang tampil sebagai pemenang dalam kontestasi pemilihan langsung adalah mereka yang punya kekuatan uang yang besar.
Yang tidak punya uang banyak, walaupun memiliki kompetensi, akhirnya terpental dari ring pemilihan langsung. Diakui atau tidak, situasi ini membuka ruang bagi munculnya oligarki terselubung. Kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan uang yang besar, sebab hanya mereka yang bisa masuk ke dalam gelanggang pemerintahan yang dihasilkan lewat sistem pemilu.
Mereka yang menang dalam pemilihan langsung belum tentu bertindak sebagai penguasa penuh. Dalam banyak kasus, uang berlimpah yang digunakan selama kontestasi pemilu merupakan uang “pinjaman” dari para bohir. Para bohir ini bisa saja berlatar belakang pengusaha atau orang yang memiliki kekuatan besar dalam kekuasaan. Sewaktu-waktu mereka harus siap menerima perintah bohir saat telah menjabat.
Hal ini menegaskan bahwa untuk memahami oligarki tidak cukup hanya dengan memetakan aparat pemerintah. Sebab, jejaring oligarki mengular hingga di luar struktur kekuasaan. Bahkan boleh jadi yang di luar kekuasaan justru lebih berkuasa dibandingkan yang di dalam kekuasaan.
Demokrasi dalam kenyataannya juga tidak bisa sepenuhnya memutus mata rantai politik dinasti. Politik kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Caranya memang lebih halus, tidak menggunakan pelimpahan kekuasaan ala zaman monarki, tetapi beraksi dengan cara menunggangi prosedur demokrasi.