Scroll untuk baca artikel
Blog

Oligarki Berjubah Demokrasi

Redaksi
×

Oligarki Berjubah Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Mereka yang menang dalam pemilihan langsung belum tentu bertindak sebagai penguasa penuh. Dalam banyak kasus, uang berlimpah yang digunakan selama kontestasi pemilu merupakan uang “pinjaman” dari para bohir. Para bohir ini bisa saja berlatar belakang pengusaha atau orang yang memiliki kekuatan besar dalam kekuasaan. Sewaktu-waktu mereka harus siap menerima perintah bohir saat telah menjabat.

Hal ini menegaskan bahwa untuk memahami oligarki tidak cukup hanya dengan memetakan aparat pemerintah. Sebab, jejaring oligarki mengular hingga di luar struktur kekuasaan. Bahkan boleh jadi yang di luar kekuasaan justru lebih berkuasa dibandingkan yang di dalam kekuasaan.

Demokrasi dalam kenyataannya juga tidak bisa sepenuhnya memutus mata rantai politik dinasti. Politik kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Caranya memang lebih halus, tidak menggunakan pelimpahan kekuasaan ala zaman monarki, tetapi beraksi dengan cara menunggangi prosedur demokrasi.

Dalam sistem demokrasi tidak ada larangan bagi siapapun untuk maju dalam perhelatan pemilihan langsung, baik itu pilkades, pilkada, sampai pilpres. Aturan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh petahana yang berkeinginan merawat dinasti politiknya. Didukung oleh pengaruh kekuasaan dan kemampuan modal, para petahana tersebut bisa leluasa mendorong keluarga mereka maju dalam pemilihan.

Hasilnya, walaupun tidak semua berhasil namun banyak yang menjadi pemenang, akhirnya kekuasaan secara turun-temurun kembali terjadi, dan ini merupakan bentuk oligarki, bahkan dalam daerah tertentu ditemukan kasus di mana pimpinan eksekutif dipegang sang ayah sedangkan legislatif dipimpin sang anak.

Jika beranggapan bahwa praktik oligarki wajar di Indonesia karena kita merupakan negara yang belum lama mengadopsi demokrasi, maka anggapan itu keliru. Faktanya di Negara yang sudah sangat lama menerapkan demokrasi, contohnya di Amerika Serikat, praktik oligarki juga terjadi.

Dalam sebuah artikel di majalah The Economist yang berjudul An Hereditary Meritocracy, meski meritokrasi menjadi standar untuk menduduki posisi penting di Amerika Serikat, namun hal tersebut tidak mampu membendung praktik politik turun temurun.

Hanya saja bentuknya menjadi lebih canggih, agar kualifikasi meritokrasi terpenuhi, kelompok elit yang berkuasa tidak asal memberi jabatan kepada keturunan mereka, tetapi anak-anak mereka terlebih dahulu diberi pendidikan tinggi, sehingga tampak layak menduduki sebuah posisi.

Tentu mereka bisa melakukannya dengan mudah karena memiliki sumber finansial. Situasi ini pada dasarnya juga membentuk oligarki dalam lingkaran kekuasaan. Fakta ini sekaligus menjelaskan betapa susahnya warga biasa AS yang meskipun punya bakat, tetapi tidak terlahir dari kalangan elite, untuk keluar dari kelas bawah, lalu mendapatkan posisi dalam pemerintahan.