Scroll untuk baca artikel
Blog

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Untunglah aku melihat matamu bagus juga rambutmu, dan tak aku lihat mode pakaianmu, pun tak aku gubris wangi parfummu. Matamu yang seperti bintang-bintang di langit kelam, cukup untuk mempertimbangkanku bahwa kau tak layak terjamah bahkan oleh apa pun dan siapa pun.

Dengan isyarat kerdipan mata kegalianku, teman-temanku meninggalkanmu di tanah berumput menceruk itu. Dan kau begitu saja menghambur ke dalam kebidangan dadaku, tanpa sepatah kata pun mampu kau ucapkan.

Kecuali binar mata itu, yang aku yakin tersedot oleh mata ularku yang diakui ular-ular lain sebagai mata raja ular. Lalu aku bimbing kau kembali ke tepi taman, dan kau melenggang lagi, meski itulah lenggang pertama dan berikutnya.

Juga malam-malam setiap kau mengaku minggat dari rumah, merupakan parfum wangi setinggi langit. Dan aku tahu ular-ular taman mengincarmu, dengan bisa beracun menyebarkan bau bacin sedalam dasar laut.

Meski kau tetap saja menganggap surga ada di langit lapis ketujuh. Meski tak kau bayangkan, kau bidadari mengejawantah sebagai gadis pingitan. Sebab menurutmu jika kau bidadari, tak mungkin dirimu mencintai ular beludak macam diriku.

Jadi sebut saja aku adalah kau, kau adalah aku, sebab dirimu adalah diriku, katamu. Lalu kita menunggu saat kita terusir dari surga, yang aku sulit percaya ada atau tidak surga itu. Persoalannya ialah mana yang surga, taman ini atau gedung-gedung tinggi itu, atau rumah yang memingitmu.

“Tahukah kau, sejak para nabi hingga kakekmoyang kita, kehidupan dibangun dari taman?”

“Dari surga..?” tanyamu.

“Bukankah surga adalah taman.”

“Eden, Firdaus, ya..tapi surga..?”

“Bukankah sorga menunjukkan tempat, juga taman.”

“Baiklah,” mafummu, “lalu..?”

“Lalu taman kemudian yang disebut alun-alun, kehidupan pun dibangun menjadi kota.”

“Kota pun ada taman, ada hutan…”

“Tapi lihatlah, bukankah kini kota tidak dibangun dari taman, tapi dari pasar?”

“Aku tidak suka pasar rakyat…”

“Ya, benar itu, kota dibangun dari supermarket, plaza, mall…”

“Kan bagus..?”

“Taman adalah tempat pertemuan bagi manusia, sayangku, dan pasar hanyalah tempat jual-beli. Lihatlah, kota hanya menjadi tempat jual-beli, tidak ada lagi pertemuan manusia dengan manusia.”

Ah, dengan parfum yang menyebar bercampur aroma mewangi apel, kau terus bertanya. Dan pandang wajahmu, tatap matamu…..

Aku simpan tatapanmu yang ke dalam

Dan batas antara pikir dan rasa

Mungkinkah ini pertemuan yang dulu…

AKU cukup berdiri di tepi taman ini, di bawah pohon apel yang rerimbunnya menjuntai ke tengah jalan. Dan kau akan begitu saja muncul, menyeberang jalan meraih-raihkan tangan ke juntaian buah-buah apel itu.

Melenggang sambil menggosokkan apel ke bagian dada oblong cekakmu, menggandeng tanganku ke bangku taman. Setiap seperti itu aku merasa kau seperti ada di jari tangan, kemudian di lenganku, lalu di bahu, dan kini aku merasa kau ada di dadaku.

Seperti ada ngilu pada tulang rusukku, setiap kita berkisah tentang diri kita yang begitu saja bertemu tanpa rencana. Tanpa bayangan sebelumnya bahwa kau yang datang untukku, bukan  ular dari bangsaku. Pun kau pernah katakan itu, kenapa mesti seekor aku yang hadir untukmu.

Selalu ada bisikan semacam gumam dari balik tulang rusukku, bahwa nasib terburuk manusia ialah karena harus bergaul dengan manusia lain. Meski aku tak pernah menyesali keberadaanku sebagai laki-laki pilihan, yang tidak hanya harus bergaul dengan para ular tapi juga menanggungjawabi mereka.

Melakukan segala hal yang semestinya bukan urusanku, karena mereka memang seperti binatang melata. Bahkan kalau perlu aku mesti menyuapi mereka, atau mengunyahkan dimulutku sehingga tinggal menelan saja.