Scroll untuk baca artikel
Blog

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

“Yang jelas bukan kami.”

“Bukankah seperti katamu, mereka yang menanam…”

“Begitulah riwayat kakekmoyang kami.”

Tanyamu lagi, “lalu siapa memetik apel-apel itu pada saatnya…”

Ah, sambil terus memetik dan mengunyah kau masih juga bertanya. Dan wajahmu..wajahmu…..

Aku simpan dirimu lewat senyummu

Di batas mana aku tak percaya surga

Bahkan kisah tentang kebahagiaan…

KAU tahu, aku pun berasal dari mereka, dan gali yang paling disegani di taman ini karena aku memang lelaki pilihan. Aku bisa mengatasi setiap persoalan mereka, dari ihwal kecemburuan hingga kekerasan, sampai ancaman penggusuran atau penangkapan.

Dan kau, mereka menyebut kau berasal dari gedung-gedung tinggi itu, gedung-gedung pencakar langit bagai raksasa yang punya banyak mata: kotak-kotak nyala neon yang di mata mabokku seperti ribuan bulan persegi.

Kau datang dari sana, dari dunia yang tidak aku pahami, turun bagaikan bidadari persembahanku. Melenggang kau di hari Minggu itu, memetik apel-apel seenak udel, dan teman-temanku menangkapmu bahkan nyaris memerkosamu sebagai hukuman bagi si pencuri.

Untunglah aku melihat matamu bagus juga rambutmu, dan tak aku lihat mode pakaianmu, pun tak aku gubris wangi parfummu. Matamu yang seperti bintang-bintang di langit kelam, cukup untuk mempertimbangkanku bahwa kau tak layak terjamah bahkan oleh apa pun dan siapa pun.

Dengan isyarat kerdipan mata kegalianku, teman-temanku meninggalkanmu di tanah berumput menceruk itu. Dan kau begitu saja menghambur ke dalam kebidangan dadaku, tanpa sepatah kata pun mampu kau ucapkan.

Kecuali binar mata itu, yang aku yakin tersedot oleh mata ularku yang diakui ular-ular lain sebagai mata raja ular. Lalu aku bimbing kau kembali ke tepi taman, dan kau melenggang lagi, meski itulah lenggang pertama dan berikutnya.

Juga malam-malam setiap kau mengaku minggat dari rumah, merupakan parfum wangi setinggi langit. Dan aku tahu ular-ular taman mengincarmu, dengan bisa beracun menyebarkan bau bacin sedalam dasar laut.

Meski kau tetap saja menganggap surga ada di langit lapis ketujuh. Meski tak kau bayangkan, kau bidadari mengejawantah sebagai gadis pingitan. Sebab menurutmu jika kau bidadari, tak mungkin dirimu mencintai ular beludak macam diriku.

Jadi sebut saja aku adalah kau, kau adalah aku, sebab dirimu adalah diriku, katamu. Lalu kita menunggu saat kita terusir dari surga, yang aku sulit percaya ada atau tidak surga itu. Persoalannya ialah mana yang surga, taman ini atau gedung-gedung tinggi itu, atau rumah yang memingitmu.

“Tahukah kau, sejak para nabi hingga kakekmoyang kita, kehidupan dibangun dari taman?”