Setiap orang itu unik, tak ada duanya, dan berharga. Setiap orang merupakan pribadi yang otonom, berdiri sendiri. Setiap orang berhak jadi diri sendiri. Untuk itu setiap individu berhak mempergunakan kebebasan dan inisiatifnya, berhak mencapai kepenuhan diri. Pertaruhan keinginan ambisi masing-masing, dan itu sebuah “kebenaran.”
Pasar adalah liberalisme. Artinya ‘bebas’, ‘merdeka’, ‘tak terikat’, dan ‘tak tergantung’. Paham yang menjunjung tinggi martabat pribadi dan kemerdekaan. Mengakui kebaikan dan kemampuan manusia untuk mengembangkan segenap potensi dan hidup. Paham yang justru mengharamkan segala usaha larangan, kekangan, demi kemakmuran orang-perorangan. Kebebasan mengungkapkan keunikan diri tanpa sungkan dan steril dari perasaan akan dipersalahkan. Dan pasar merupakan lahan potensial untuk mengembangkan “hasrat” dan “itikad baik” tersebut.
Demikian. Betapa keyakinan bahwa manusia itu pribadi unik, pribadi yang memiliki kekhasan, berasa meruyak dan memecah keharmonisan. Betapa keyakinan bahwa pribadi manusia itu pada dasarnya baik, condong pada kebaikan, mencari, menghayati, serasa mustahil di era paling kini. Pengagungan atas keunikan, penghargaan yang berporos pada pribadi perorangan, kini jadi pembenar norma “semau gue”. Yang baik adalah baik sesuai selera pribadi.
Yang jahat adalah jahat menurut cita rasa pribadi. Jadi sangat subjektif dan relatif, yang kadang parameternya sebatas naluri dan indriawi. Naluri, perbuatan berdasar insting, semata tanpa penalaran. Orang bertindak berdasar dorongan sesaat minus pertimbangan. Etika indriawi, membuat si pelaku bertindak berdasar dorongan nafsu.
Pandangan yang terlampau optimis tentang kebaikan manusia dan kemampuannya berbuat baik, seakan mengecilkan peran penyuluhan, peraturan dan hukum. Peraturan dan hukum, tidak dibutuhkan lagi, lantaran manusia sudah pasti baik dan sanggup mengerjakannya. Liberalisme, seolah lupa, bahwa daya tarik pada kebajikan, ternyata juga mampu mendorong orang berbuat sesuatu untuk mengejarnya, yang justru menihilkan norma umum. Liberalisme mendorong sikap dan pendirian subjektif, bahwa yang baik hanyalah yang dilihat, yang mampu dikerjakan, dan menafikan aturan nilai yang lebih tinggi.
Namun demikian, sisi yang beda, dan ini yang pasti, bahwa pasar adalah titik temu. Di sana memang terjadi persemaian paham individualis dan liberalis, yang tak lain adalah pengakuan titik beda. Bahwa sebagai pribadi itu tidak akan ada duplikatnya. Tidak mungkin hadir pengganti lain yang bisa persis seperti dia. Setiap diri adalah unik. Tetapi pasar juga merupakan titik temu dua atau lebih individu yang berbeda kepentingan, saling mengendurkan kepentingan atau ego, demi kesepakatan. Tawar-menawar barang dan jasa, saling tukar uang dan benda, adalah ikhtiar untuk mencapai nilai bersama yang saling untung.