Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Pasar: Pertautan Titik Beda dan Titik Temu

Redaksi
×

Pasar: Pertautan Titik Beda dan Titik Temu

Sebarkan artikel ini

Demikian. Betapa keyakinan bahwa manusia itu pribadi unik, pribadi yang memiliki kekhasan, berasa meruyak dan memecah keharmonisan. Betapa keyakinan bahwa pribadi manusia itu pada dasarnya baik, condong pada kebaikan, mencari, menghayati, serasa mustahil di era paling kini. Pengagungan atas keunikan, penghargaan yang berporos pada pribadi perorangan, kini jadi pembenar norma “semau gue”. Yang baik adalah baik sesuai selera pribadi.

Yang jahat adalah jahat menurut cita rasa pribadi. Jadi sangat subjektif dan relatif, yang kadang parameternya sebatas naluri dan indriawi. Naluri, perbuatan berdasar insting, semata tanpa penalaran. Orang bertindak berdasar dorongan sesaat minus pertimbangan. Etika indriawi, membuat si pelaku bertindak berdasar dorongan nafsu.

Pandangan yang terlampau optimis tentang kebaikan manusia dan kemampuannya berbuat baik, seakan mengecilkan peran penyuluhan, peraturan dan hukum. Peraturan dan hukum, tidak dibutuhkan lagi, lantaran manusia sudah pasti baik dan sanggup mengerjakannya. Liberalisme, seolah lupa, bahwa daya tarik pada kebajikan, ternyata juga mampu mendorong orang berbuat sesuatu untuk mengejarnya, yang justru menihilkan norma umum. Liberalisme mendorong sikap dan pendirian subjektif, bahwa yang baik hanyalah yang dilihat, yang mampu dikerjakan, dan menafikan aturan nilai yang lebih tinggi.

Namun demikian, sisi yang beda, dan ini yang pasti, bahwa pasar adalah titik temu. Di sana memang terjadi persemaian paham individualis dan liberalis, yang tak lain adalah pengakuan titik beda. Bahwa sebagai pribadi itu tidak akan ada duplikatnya. Tidak mungkin hadir pengganti lain yang bisa persis seperti dia. Setiap diri adalah unik. Tetapi pasar juga merupakan titik temu dua atau lebih individu yang berbeda kepentingan, saling mengendurkan kepentingan atau ego, demi kesepakatan. Tawar-menawar barang dan jasa, saling tukar uang dan benda, adalah ikhtiar untuk mencapai nilai bersama yang saling untung.

Syahdan, pengakuan atas keunikan dan kebaikan per individu, tidak lantas mengarah pada etika “semaunya”, karena dorongan untuk berbuat baik tetap dominan melekat pada setiap pribadi. Pengakuan pada “titik beda” tidak berarti lantas meninggalkan “titik temu”. Sehingga pasar menjadi simbol ruang  yangmenautkan dua titik tersebut. Bahwa kebersamaan itu pun nyata, bukan ilusi. Pasar menjadi ruang bahwa keunikan sekaligus keistimewaan manusia terakui.

Pada akhirnya, pasar menjadi model ruang wajar manusia. Maka, tak aneh sekira Nabi Muhammad Saw. pun dilukiskan sebagai yang biasa berjalan di pasar-pasar. Tak lain tidak bukan untuk menegaskan bahwa sang nabi itu juga manusia biasa seperti manusia yang lain. Muhammad Asad menjelaskan: kehadiran nabi menjadi sarana ujian bagi persepsi moral dan kecenderungan manusia yang menuntut bukti “supernatural” bahwa ia benar-benar nabi. Itu kenapa disebut dalam surah Al-Furqon ayat 7 dan 20 bahwa Nabi Muhammad Saw itu sebagaimana lumrahnya banyak orang: biasa berinteraksi di pasar.

Pasar, sebagaimana makna lain dari kata pekan, sekali lagi sebagai pertautan “titik beda” sekaligus “titik temu”.

Demikian.