Pengalaman berdagang telor mengajarkan satu hal penting, bahwa pekerja usaha mikro memiliki tingkat risiko yang luar biasa besar
BARISAN.CO – Kisah masa lalu banyak yang bisa menjadi pelajaran berharga dalam hidup. Ada satu fragmen hidup yang terpatri sepanjang waktu dan sangat mempengaruhi pilihanku tentang banyak hal. Pengalaman saat berjualan telor ayam ras tiga puluh tahun yang lampau.
Aku menikahi Ety pada tanggal 9 Februari 1992 di Jakarta. Saat itu, kami berdua masih berstatus mahasiswa di Jogjakarta. Sebulan kemudian, kami menyewa rumah di suatu dusun daerah Sewon, Bantul. Jauh jika dilihat dari lokasi kampus UGM, tempat berkuliah. Tidak seberapa jauh, namun juga tak terlampau dekat dengan wilayah perkotaan Jogja.
Meski masih dibantu oleh kedua orang tua, aku mulai memutar otak untuk mencari sumber penghasilan keluarga. Dari hasil pengamatan dan perbincangan selama seminggu, aku memutuskan memulai usaha menjadi penjual telur ayam ras.
Pola berdagangku sangat sederhana. Membeli dari peternak kecil di Bantul yang berjarak 10 km dari kontrakan. Menjualnya di pasar giwangan jogja, yang merupakan pasar temporer pagi hari. Jaraknya sekitar 20 km dari lokasi pembelian tadi.
Sarana yang kupakai pada hari pertama adalah sepeda onthel dengan keronjot (keranjang besar) di boncengannya. Sepeda dibeli beberapa hari sebelumnya di pasar sepeda bekas daerah Pojok Beteng Kulon. Keronjot dari pasar kota Gede Jogjakarta. Sarana demikian kupelajari dari mengamati beberapa pedagang telur.
Berangkat jam 03.30, diiringi senyum dan doa istri sampai pekarangan rumah kontrakan yang cukup luas. Setengah jam kemudian, mampir sholat subuh di masjid agung Bantul. Kemudian lanjut ke lokasi peternak yang berjarak sekitar 3 km dari masjid.
Dua hari sebelumnya sudah disepakati bahwa aku mulai membeli telur dari si peternak, dengan harga menyesuaikan pasaran tiap harinya. Tiba sekitar jam 5, ternyata sudah ada beberapa pedagang lain yang biasa membeli di situ. Sebenarnya, hanya peternak kecil yang kebetulan juga seorang guru SD.
Kami bertransaksi, harus bayar tunai karena pertama kali membeli di situ. Aku dibantu memuat telur ke keronjot, karena belum biasa. Ternyata butuh penataan dengan cara tertentu, termasuk memakai jerami, agar tidak mudah pecah selama perjalanan.
Semula aku meminta diisi penuh yang berarti sekitar 100 kg. Peternak menanyakan apakah aku sudah pernah membawa telur bersepeda dengan keronjot. Ketika kujawab belum pernah, dia minta aku hanya mengisi 70 kg saja. Diberitahu bahwa tidak akan mudah mengendarainya nanti.
Ketika belum dijalankan dan hanya dipegangi, sepertinya semua akan berjalan baik saja. Tatkala aku mau menaiki sepeda ber-keronjot dengan muatan telur 70 kg itu, ban depan sepeda selalu terangkat. Berkali-kali kucoba, hal itu terus terjadi. Aku menjauh dari lokasi peternak dengan hanya menuntun sepeda. Sungkan kepada si peternak yang coba membantu padahal dia mesti melayani pedagang lainnya.
Semua doa dan zikir yang kuingat kubaca, sambil berkeringat dingin dan keringat panas. Salah satu yang kuingat hingga kini, “Ya Allah, engkau penguasa segala sesuatu. Engkau lah yang menciptakan hukum alam. Beri aku petunjuk dan mudahkan lah usahaku ini.”
Entah bagaimana kemudian tersirat pikiran untuk mencondongkan badanku lebih ke depan ketika memulai mengendarai. Sepeda tidak terangkat lagi ban depannya, dan mulai berjalan perlahan. Perjuangan ternyata belum selesai. Di setiap lampu merah atau ada rintangan kendaraan lain, memaksaku berhenti dan memulai dari awal lagi mengendalikan sepeda.
Jarak 20 km ke pasar pagi Giwangan ditempuh dalam waktu hampir tiga jam. Lebih dari dua kali waktu yang dibutuhkan nanti ketika telah terbiasa. Jadilah hari pertama berjualan relatif kesiangan. Beruntung pasaran sedang cukup ramai, sehingga dagangan telor akhirnya tetap bisa habis.