Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Pelajaran Berharga dari Berdagang Telor

Redaksi
×

Pelajaran Berharga dari Berdagang Telor

Sebarkan artikel ini

Semua doa dan zikir yang kuingat kubaca, sambil berkeringat dingin dan keringat panas. Salah satu yang kuingat hingga kini, “Ya Allah, engkau penguasa segala sesuatu. Engkau lah yang menciptakan hukum alam. Beri aku petunjuk dan mudahkan lah usahaku ini.

Entah bagaimana kemudian tersirat pikiran untuk mencondongkan badanku lebih ke depan ketika memulai mengendarai. Sepeda tidak terangkat lagi ban depannya, dan mulai berjalan perlahan. Perjuangan ternyata belum selesai. Di setiap lampu merah atau ada rintangan kendaraan lain, memaksaku berhenti dan memulai dari awal lagi mengendalikan sepeda.

Jarak 20 km ke pasar pagi Giwangan ditempuh dalam waktu hampir tiga jam. Lebih dari dua kali waktu yang dibutuhkan nanti ketika telah terbiasa. Jadilah hari pertama berjualan relatif kesiangan. Beruntung pasaran sedang cukup ramai, sehingga dagangan telor akhirnya tetap bisa habis.

Kejadian itu mempengaruhi banyak sikap dan pikiranku di kemudian hari. Aku sering kritis atas keadilan ekonomi. Cukup baperan jika ada yang asal berpendapat bahwa orang-orang itu dibayar murah karena tidak memiliki keterampilan, atau karena malas. 

Ketika bersepeda motor dalam lalu lintas di Jogja dahulu, aku selalu mengutamakan para pengendara sepeda ber-keronjot. Mereka tidak hanya terdiri pedagang telor, namun berbagai macam dagangan dari desa. Seperti: gula merah, sayur-sayuran, gerabah, dan lain sebagainya.  

Pengalaman berdagang telor hari-hari berikutnya, mengajarkan satu hal penting lagi. Bahwa pekerjaan para usaha mikro memiliki tingkat risiko yang luar biasa besar. Mudah merugi karena berbagai sebab yang tidak terduga. Untuk bisa bertahan saja, dibutuhkan sikap mental yang kuat.

Ketika aku kini lebih menekuni pekerjaan sebagai ekonom, maka pandanganku sangat terwarnai pengalaman masa lalu itu. Bagiku, para pelaku usaha mikro pada umumnya rajin, terampil, dan bermental bagus. Jika hingga kini masih saja “dibayar” murah oleh sistem perekonomian, maka ada yang tidak benar dalam sistem ini. Terindikasi terjadi eksploitasi hingga penindasan.

Kewajiban berjuang untuk memperbaikinya ada pada semua pihak. Terutama, mereka yang peduli dan berharap tegaknya keadilan ekonomi. Mereka yang masih yakin pada cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. [Luk]