Elitisme isu antikorupsi ini bisa berbahaya untuk jangka panjang, karena kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh kekuatan politik dan jaringan oligarki korup untuk menghancurkan upaya penegakan hukum korupsi. Kekuatan politik dan jaringan oligarki korup ini menyadari betul bahwa apatisme masyarakat terhadap korupsi membuat mereka bisa dengan mudah melakukan pelemahan kepada KPK. Jikapun muncul protes dari mahasiswa atau kaum intelektual, bisa diabaikan karena dianggap tidak bersifat massif.
Pelemahan KPK melalui UU No. 19/2019 memperlihatkan bagaimana rezim dengan dukungan kekuatan politik dan jaringan oligarki korup bisa memanipulasi kesadaran publik bahwa kondisi bangsa ini baik-baik saja meskipun UU KPK diubah sesuai dengan kepentingan mereka.
Melihat kondisi ini, tentu saja dibutuhkan upaya untuk memperkuat kembali kesadaran masyarakat supaya masyarakat tidak apatis di satu sisi dan menjadikan isu korupsi tidak elitis di sisi lain. Penguatan kesadaran ini bisa dilakukan melalui sebuah proses yang dinamakan dengan pelembagaan (institusionalisasi), baik kepada KPK maupun kepada masyarakat.
Pelembagaan antikorupsi kepada masyarakat bertujuan untuk memperkuat kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap upaya antikorupsi dalam berbagai bentuk di berbagai arena. Secara sosiologis—mengacu pada Richard Scott (2009), pelembagaan antikorupsi ini bisa dilakukan dalam tiga aspek, yakni aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif.
Pelembagaan antikorupsi secara regulatif bisa dilakukan dengan melihat sejumlah dimensi, yakni (1) basis tatanan, (2) dasar kepatuhan, (3) mekanisme pelembagaan, (4) pengaruh pelembagaan, dan (5) basis legitimasi. Jika semua dimensi dari aspek regulatif ini dilakukan oleh semua pihak, khususnya pemerintah, maka upaya pelembagaan antikorupsi, khususnya dari aspek regulatif, akan menguat di masyarakat, pemerintah, sektor swasta, dan sebagainya.
Pertama, basis tatanan (basic of order) secara regulatif adalah aturan-aturan atau kebijakan yang bersifat mengikat semua orang. Dengan kata lain, tatanan sosial antikorupsi bisa diperkuat melalui penciptaan berbagai aturan dan kebijakan yang tidak mendukung berbagai prilaku korupsi di berbagai arena yang bisa melibatkan berbagai pihak. Tugas berat kita adalah memastikan supaya semua kebijakan publik dan aturan perundang-undangan tidak mendukung prilaku korupsi. Tentu ini bukan pekerjaan mudah.
Kedua, dasar kepatuhan (basic of compliance) secara regulatif adalah kelayakan, bahwa sesuatu itu layak atau tidak layak untuk dilakukan. Kalau ia layak, maka masyarakat, pemerintah dan semua pihak harus patuh, taat, tunduk pada berbagai aturan yang berlaku, dimana aturan tersebut mempunyai kelayakan untuk dipatuhi. Dalam konteks ini, supaya aturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah bersifat melekat (embedded) dalam kesadaran publik, maka aturan dan kebijakan itu haruslah layak secara akal sehat dan mendukung upaya antikorupsi. Aturan dan kebijakan yang cenderung korup tentu saja akan merusak tananan kehidupan bersama dan membuat kondisi bangsa ini semakin terpuruk.
Ketiga, mekanisme pelembagaan. Berbeda dengan dengan aspek normatif dan kognitif, mekanisme pelembagaan antikorupsi secara regulatif bersifat memaksa (coersive). Penegakan hukum antikorupsi bersifat memaksa. Jika penegakan hukum antikorupsi melemah, maka upaya pelembagaan antikorupsi dari sisi regulatif juga kurang bisa diharapkan. Pelemahan KPK melalui UU No. 19/2019 memperlihatkan bagaimana mekanisme koersif ini dilemahkan dalam penegakan hukum korupsi. Namun demikian, apapun kondisinya, sifat koersif dari sebuat aturan perundang-undangan tidak berkurang. Yang melemah adalah upaya pelembagaan secara regulatif dalam penguatan antikorupsi.