Karena itu, korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus menjadi musuh kita bersama. Masalahnya adalah, karena korupsi tidak secara langsung berdampak pada kehidupan kita, maka masyarakat cenderung abai, tidak peduli, dan merasa kondisi baik-baik saja. Bahkan, banyak koruptor di berbagai daerah disambut sebagai “orang baik”, hanya karena sang koruptor rajin bersedekah kepada fakir miskin atau murah tangan dalam membantu pembangunan masjid di daerahnya.
Yang lebih parah, banyak koruptor atau keluarganya bisa dengan mudah memenangkan kembali kontestasi politik dalam pilkada, dan kemudian berkuasa kembali sebagai kepala daerah atau anggota legislatif di daerah dan nasional.
Apatisme masyarakat terhadap prilaku korupsi ini membuat isu korupsi menjadi isu elitis. Akhirnya, yang peduli dengan isu korupsi hanya kalangan kelas menengah terdidik, atau mereka yang menjadi aktivis dan akademisi yang mempunyai minat dalam gerakan antikorupsi.
Elitisme isu antikorupsi ini bisa berbahaya untuk jangka panjang, karena kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh kekuatan politik dan jaringan oligarki korup untuk menghancurkan upaya penegakan hukum korupsi. Kekuatan politik dan jaringan oligarki korup ini menyadari betul bahwa apatisme masyarakat terhadap korupsi membuat mereka bisa dengan mudah melakukan pelemahan kepada KPK. Jikapun muncul protes dari mahasiswa atau kaum intelektual, bisa diabaikan karena dianggap tidak bersifat massif.
Pelemahan KPK melalui UU No. 19/2019 memperlihatkan bagaimana rezim dengan dukungan kekuatan politik dan jaringan oligarki korup bisa memanipulasi kesadaran publik bahwa kondisi bangsa ini baik-baik saja meskipun UU KPK diubah sesuai dengan kepentingan mereka.
Melihat kondisi ini, tentu saja dibutuhkan upaya untuk memperkuat kembali kesadaran masyarakat supaya masyarakat tidak apatis di satu sisi dan menjadikan isu korupsi tidak elitis di sisi lain. Penguatan kesadaran ini bisa dilakukan melalui sebuah proses yang dinamakan dengan pelembagaan (institusionalisasi), baik kepada KPK maupun kepada masyarakat.
Pelembagaan antikorupsi kepada masyarakat bertujuan untuk memperkuat kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap upaya antikorupsi dalam berbagai bentuk di berbagai arena. Secara sosiologis—mengacu pada Richard Scott (2009), pelembagaan antikorupsi ini bisa dilakukan dalam tiga aspek, yakni aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif.
Pelembagaan antikorupsi secara regulatif bisa dilakukan dengan melihat sejumlah dimensi, yakni (1) basis tatanan, (2) dasar kepatuhan, (3) mekanisme pelembagaan, (4) pengaruh pelembagaan, dan (5) basis legitimasi. Jika semua dimensi dari aspek regulatif ini dilakukan oleh semua pihak, khususnya pemerintah, maka upaya pelembagaan antikorupsi, khususnya dari aspek regulatif, akan menguat di masyarakat, pemerintah, sektor swasta, dan sebagainya.